| Gambar: dibuat oleh Jronaldo, mengunakan AI Image |
UUD 1945 mengakui keberadaan masyarakat adat. Dimana pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat tercantum dalam pasal 18B ayat (2) menyatakan bahwa “negara menghormati dan mengakui hak-hak masyarakat hukum adat.” dan pasal 28I ayat (3) UUD 1945, Serta UU No. 5 Tahun 1960 tentang “Peraturan Dasar Pokok-Pokok agraria” (UUPA). (Difa Ayu Oktarina 2023).
Hingga peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Indonesia pasal 1 ayat (15) nomor 9 tahun 2015 tentang Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan.
Bulan Juni 2012 Mahkamah Konstitusi membuat keputusan penting dan bersejarah yang menegaskan bahwa “hutan adat bukan hutan negara.” (Zakaria 2020). Namun, pengakuan dan perlindungan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat menyisakan dua persoalan mendasar hingga kini, yakni;
Pertama; pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat tergantung pada “syarat-syarat sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.”
Kedua; konstitusi memperkenalkan dua istilah, yaitu kesatuan Masyarakat Hukum Adat pasal 18B ayat (2) dan masyarakat tradisional pasal 28I ayat (3). Tanpa memberikan penjelasan menyangkut kedua istilah yang digunakan dalam UU tersebut.
UU 1945 pasal 18B ayat (2), dan 28I ayat (3) bersifat fakultatif bukan norma imperative. Norma fakultatif sifatnya pelengkap yang pemberlakuan tergantung pada adanya syarat atau ketentuan. Berbeda dengan norma imperatif yang merupakan norma perintah dan larangan yang dapat memaksa selain implementasinya. (Setyowati 2023).
Sehingga dalam tulisan ini, penulis membahas kajian tentang masyarakat adat yang tersebar di tanah Papua. Yang terdiri dari 250 suku lebih yang mendiami tanah Papua. Yang kerap kali tersisihkan Hak atas tanah serta segala kepemilikan yang bersifat (material) dan hak atas kekayaan sosial-budaya, hukum atau kekayaan tak benda yang bersifat (immaterial) yang dimiliki masyarakat adat.
Kebijakan dan pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi dan modernisasi telah menyisakan persoalan mendasar bagi keberadaan masyarakat adat di tanah Papua. Sebagaimana kasus proyek Merauke Integrated Food Estate and Energy (MIFEE) di Merauke Kampung Zanegi tahun 2010 yang menyisakan persoalan ekologis, sosial serta HAM.
Dalam pelaporan perkumpulan berbagai organisasi kemasyarakatan Sipil tentang (Kelaparan dan Kemiskinan di Indonesia: Organisasi Masyarakat Sipil Menyerukan Penghentian Proyek MIFEE di Papua Sebelum Ada Perbaikan bagi Masyarakat Setempat 2013)
“kami tidak menolak pembangunan. Namun, kami tidak ingin menjadi penonton pembangunan di tanah kami. Perusahan sebenarnya bisa membantu kami. Walaupun dalam kenyataannya, mereka menginjak-injak hak-hak asasi kami.” Yosefina_Masyarakat adat Malind yang tersisih karena proyek MIFEE; tahun 2010.
Seharusnya pembangunan dipandang lebih dari sekedar pertumbuhan ekonomi dan modernisasi dalam suatu negara. Sebab “pembangunan sejatinya adalah sebuah proses mengusahakan kebebasan secara terus-menerus untuk membuat masyarakat berada dalam keadaan nyaman, yang intinya memanusiakan masyarakat secara menyeluruh.” (Sen 2000) dalam (Pamungkas, Oktafiani and imbhiri 2022).
Sehingga pembangunan harus dilaksanakan berdasarkan komunikasi bilateral antara masyarakat adat dan negara sebagai pelaku dan penerima manfaat pembangunan. Namun, nyatanya pemerintah kerap kali melihat masyarakat adat sebagai objek pembangunan yang selalu didekati dengan pendekatan top down. Padahal dalam pembangunan masyarakat adat harus dilibatkan secara aktif sebagai mitra dalam menyepakati pembangunan seperti apa yang diharapkan atas dasar kesepakatan bersama.
Namun, dalam konteks pembangunan di tanah Papua, selalu mendapatkan pendekatan top down yang bersifat militeristik. Sehingga dalam pembangunan di tanah Papua kerap kali masyarakat adat mendapatkan terror, kekerasan fisik hingga non fisik secara langsung.
Sebagaimana program PSN yang dicanangkan Prabowo Subianto yang melahap 2.000.000 juta lebih ha tanah masyarakat adat Malind, Maklew, Khimaima, Yei. yang bahkan akan menggusur 50 ribu jiwa penduduk yang menghuni 40 kampung, 13 Distrik oleh masyarakat adat (Malind, Maklew, Khimaima, Yei) yang sebagian masuk lahan hunian masyarakat sehingga akan dialih fungsikan guna mewujudkan "Papua sebagai lumbung pangan nasional". (Jigibalom 2024)
“program PSN tidak membutuhkan tenaga orang asli Papua sebab akan merekrut orang luar Papua dan melibatkan TNI.” Kata Menteri Pertanian.
Seburuk apapun suatu suku/kelompok yang disebut dengan berbagai istilah; savage, primitive atau apapun sebutannya, tidak akan mengurangi citranya sebagai manusia. Karena setiap kelompok etnis/suku memiliki “kemampuan untuk bersatu dan bekerja sama dalam tiap-tiap hubungan antar suku-suku bangsa yang dipengaruhi oleh faktor Bahasa, komunikasi dan kegiatan kemasyarakatan.” (Pona 2009)
Sehingga Tulisan ini hadir karena kecemasan, frustasi penulis dalam melihat kehadiran pemerintah Indonesia di tanah Papua yang lebih dari setengah abad (sejak 1 Mei 1963 hingga kini) 63 tahun. namun dari berbagai kebijakan dan pembangunan yang dilaksanakan di tanah Papua tidak dapat mengangkat citra penduduk orang asli Papua sebab, IPM dari berbagai provinsi dan daerah pemekaran di tanah Papua masih sangat rendah dari tahun ke tahun. (Jigibalom 2024)
Atas nama kebijakan dan pembangunan (development) yang bercorak pertumbuhan ekonomi dan modernisasi melalui kebijakan; UU No. 21 Tahun 2001 Tentang “Otonomi Khusus Bagi Papua.”, UU No.2 Tahun 2021 tentang “Perubahan Kedua atas UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua”, UU Pembentukan Provinsi Papua Selatan, No 14 tahun 2022, UU Pembentukan Provinsi Papua Tengah no. 15 tahun 2022, UU Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan no. 16 tahun 2022.
Namun nyata, masyarakat adat Papua makin tersisih dari yang tersisa karena berbagai kebijakan dan pembangunan tidak dapat memberdayakan masyarakat adat sebagai manusia. Dengan demikian tulisan ini saya akhir dengan puisis W.S. Rendra
“maksud baik saudara untuk siapa? Jangan-jangan saudara berjuang untuk kepentingan saudara, di balik kedok “kerakyatan” yang kau teriakan.” (Faidi 2013)
“Dengan meneruskan tulisan ini, anda telah berpartisipasi dalam membangun solidaritas dan dukungan bagi masyarakat adat Papua dan hutan yang tersisih dari yang tersisa.”
Tanah Papua, 18 November 2024
Ditulis oleh:
**Ronaldo Jigibalom
Penulis merupakan alumni Antropologi Fisip-UNCEN, yang kini sedang mendalami kajian tentang Masyarakat Adat di Tanah Papua dan aktif menulis di blog pribadi: https://sabacarita31.blogspot.com/
*References:
Difa Ayu Oktarina, S.H. 2023. "Hukum Adat di Indonesia." Accessed November 15, 2024. http://jdih.baritoutarakab.go.id/berita/baca/hukum-adat-di-inoonesia.
Faidi, A. 2013. Pemikiran Emas Tokoh-Tokoh Politik Dunia. Yogyakarta: IRCiSoD.
Jigibalom, Ronaldo. 2024. "Kejahatan Struktural Sistemik Pemerintah Indonesia di Tanah Papua Barat: Dari Transmigrasi Spontan Hingga Program Transmigrasi Nasional." Edited by J.J.R. Anggupaga. Accessed November 18, 2024. https://sabacarita31.blogspot.com/2024/11/blog-post.html.
Jigibalom, Ronaldo. 2024. “Transmigrasi Nasional dan Transformasi: Menganalisis Kebijakan Pemerintah Indonesia di Tanah Papua”. Accessed November 18, 2024. https://sabacarita31.blogspot.com/2024/11/transmigrasi-nasional-dan-transformasi.html
2013. "Kelaparan dan Kemiskinan di Indonesia: Organisasi Masyarakat Sipil Menyerukan Penghentian Proyek MIFEE di Papua Sebelum Ada Perbaikan bagi Masyarakat Setempat." Forest People Programme; PUSAKA; Sawit Watch; Down to Earth. 1-4. Accessed November 15, 2024. https://www.downtoearth-indonesia.org/sites/downtoearth-indonesia.org/files/CERD%20MIFEE%20Press%20Release%20Bahasa%20Indonesia-Final.pdf.
Sen, Amarta. 2000. Development as Freedom. Oxford: Knopf Inc. Dalam; Pamungkas, Cahyo, irin Oktafiani, and Leonardus imbhiri. 2022. "Makna Pembangunan Bari Orang Asli Papua: Studi Terhadap Marginalisasi dan Depopulasi di Tanah Papua." 17.
Pona, La. 2009. "Transmigrasi Era Otonomi Khusus Di Provinsi Papua." Humaniora 21: 352. Accessed November 15, 2024.
Setyowati, Retno Kus. 2023. "Pengakuan Negara Terhadap Masyarakat Hukum Adat." Binamulia Hukum 12: 131-132. Accessed November 15, 2024. doi:https://doi:10.37893/jbh.v12i1.601.
Zakaria, R Yando. 2020. "Hutan Adat Mau Kemana." Forest Digest. page; 68-69.