|  | 
| Ilustrator: Jronaldo | 
Tanah Papua adalah tanah jajahan pemerintah Indonesia sehingga tertutup bagi media asing dan terbuka bagi investor asing. Dalam perayaan dirgahayu Indonesia yang ke-80 tahun pada 17 Agustus 2025.
Fenomena nasionalisme semu terlihat jelas melalui berbagai simbol-simbol yang dipajang di seluruh tanah Papua, di jalanan, gedung hingga podium.
Warna-warni perayaan dirgahayu republik Indonesia tidak hanya terpampang di berbagai sarana-prasarana namun juga di berbagai platform media sosial. Hingga penyambutan perayaan dirgahayu mengenakan busana Papua yang sedang digembar-gemborkan menjelang perayaan dirgahayu ke-80 tahun RI, di Tanah Papua.
Tanpa menyuarakan berbagai kejahatan kemanusiaan di Tanah Papua, yang dilanda (internal displacement people). Human Right Monitoring mencatat terdapat 86.886 pengungsi di awal tahun 2025, yang tersebar di Kabupaten Puncak Jaya, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Tengah, Kabupaten Jayawijaya, Nduga, Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan, Kabupaten Maybrat Provinsi Papua Barat Daya.
Yang memberikan wajah kontras dibalik euforia penyambutan perayaan dirgahayu Indonesia ke-80 tahun. Tanah Papua masih dilanda krisis kemanusiaan yang belum disuarakan dan menjadi perhatian bersama.
Sehingga tulisan ini, hadir untuk menilik nasionalisme (kecintaan) penduduk orang asli Papua terhadap Indonesia.
Apakah benar-benar dari rasa kecintaan penduduk orang asli Papua ataukah sebatas settingan pejabat administrator, eksekutif, legislatif Indonesia di Tanah Papua, demi euforia perayaan dirgahayu RI yang ke-80 tahun diatas penderitaan penduduk orang asli Papua.
Sebab penduduk orang asli Papua tidak perna merasa diIndonesiakan atau benar-benar merasa bahwa ia adalah Indonesia. Karena jejak dan luka historis yang masih menyimpan bara kekejaman, kebiadaban yang belum perna diselesaikan secara adil oleh pemerintah Indonesia dari berbagai operasi militeristik, ala Soekarno hingga kini Operasi Damai Cartenz, di tanah Papua.
Karena itu, tulisan ini hadir untuk menilik fakta sosial politik di Tanah Papua yang penuh dengan pembunuhan, pemenjaraan, dan pengungsian yang belum dilihat secara utuh, oleh pemerintah bahkan khalayak umum di Indonesia dan khususnya tanah Papua.
Karena distraksi sosial yang penuh dengan mis dan disinformasi terhadap Papua. Kita terlena dengan berbagai tawaran dan hiburan melalui platform media sosial. Sehingga berbagai kejahatan kemanusiaan di Tanah Papua tidak perna benar-benar menjadi wacana publik di Indonesia bahkan di Papua, untuk disuarakan bersama-sama.
Maka, tulisan ini hadir untuk mewacanakan nasionalisme orang Papua, yang berhadapan dengan DISTRAKSI karena arus algoritma dan arus konsumsi informasi masal yang membuat kita tidak peka untuk menyuarakan berbagai pelanggaran HAM di tanah Papua.
Sebab no viral no justice masih memainkan peran penting dalam membuka mata dan hati kita sebagai manusia. Karena kita menjadi pribadi yang pasif ketika mengkonsumsi informasi massal dari berbagai platform media sosial, jika kita tidak selektif dan kritis dalam memilih, mencerna dan berbagai Informasi.
- Distraksi Nasionalisme Semu.
Distraksi nasionalisme semu Indonesia adalah peran serta arus media, yang hanya menampilkan berbagai informasi keberhasilan Indonesia di Tanah Papua sebagai penyelamat, bagi penduduk orang asli Papua.
Menjelang perayaan dirgahayu RI yang ke-80 tahun, berbagai kegiatan hingga hiasan dan busana komunitas masyarakat adat digaungkan sembari memegang bendera bahkan slogan-slogan kecintaan akan Indonesia.
Wajah-wajah berbagai hiasan pernak-pernik ini telah mewarnai perayaan dirgahayu RI dari tahun ke tahun dan merupakan bukan hal yang baru, di Tanah Papua.
Namun, tuntutan merdeka dari Papua tidak perna sirna dimakan nasionalisme Indonesia, walaupun nasionalisme Indonesia telah dan masih diajarkan di berbagai tingkat pendidikan di Tanah Papua namun, tidak perna benar-benar menghilangkan nasionalisme penduduk orang asli papua akan tuntutan Papua Merdeka.
Sebab munculnya nasionalisme Papua bukan dipengaruhi oleh perbedaan ras dan budaya seperti yang ditegaskan, Chauvel (2005), tetapi dipengaruhi oleh pengalaman yang dialami bersama dan keinginan bersama untuk membentuk suatu bangsa, (Meteray:2012;Hlm:270).
Sehingga penyebaran nasionalisme Indonesia di Tanah Papua, sebatas pajangan, nasionalisme tandingan dibawah teror, intimidasi ancaman dan pembunuhan terhadap penduduk orang asli Papua yang tidak perna benar-benar menghilangkan ataupun menggantikan nasionalisme Papua.
Karena, "proses penyemaian dua nasionalisme di Tanah Papua menunjukkan kesadaran kepapuaan lebih dominan daripada keindonesiaan," (Meteray:2012).
2. Euforia di balik penindasan.
Semangat perayaan dirgahayu Indonesia yang ke-80 tahun, pada 17 Agustus 2025, terlihat mencolok di berbagai Kabupaten/Kota di Tanah Papua.
Dengan berbagai template dan pernak-pernik perhiasan perayaan dirgahayu Indonesia di Tanah Papua. Namun, dibalik semangat perayaan dirgahayu yang ke-80 tahun RI di tanah Papua. Isu disintegrasi tidak perna lebur dimakan waktu, sehingga Tanah Papua masih berstatus daerah operasi militer, daerah berbahaya, daerah konflik.
Karena nasionalisme Papua tidak perna benar-benar dilebur ataupun digantikan dengan nasionalisme Indonesia. Nasionalisme Indonesia di tanah Papua sebatas nasionalisme garis keras yang menghantui nasionalisme Papua dengan menebar teror, intimidasi, pemenjarahan hingga penghilangan nyawa penduduk orang asli Papua.
Yang melahirkan nasionalisme tandingan bagi nasionalisme Indonesia yakni; nasionalisme Papua yang memandang Indonesia adalah penjajah karena praktik-praktik militeristik yang keji dan kejam. Konflik kekerasan yang melanda Papua adalah biang kerok dari tuntutan merdeka (disintegrasi) yang membara di tanah Papua, yang berunjuk pada 86.886 pengungsi internal (internal displacement people) yang tersebar di Tanah Papua, akibat operasi militeristik.
Eskalasi konflik kekerasan bersenjata yang terus meningkat, mengakibatkan akses dan jaminan keselamatan akan kebutuhan (makan, minum), pendidikan, kesehatan yang cukup bagi penduduk orang asli Papua yang mengungsi pun terabaikan.
Konflik kekerasan di tanah Papua merupakan murni, konflik nasionalisme akan Papua Merdeka dan NKRI harga mati, yang mengakibatkan berbagai komunitas masyarakat adat di Tanah Papua berada di pengungsian. Pendekatan militeristik di Tanah Papua harus dihentikan karena telah melecehkan nilai-nilai luhur, kemanusiaan dan bertentangan dengan UU 1945.
Sehingga pemerintah Indonesia segera mengadakan dialog dan rekonsiliasi demi menghentikan dan menyelesaikan konflik kekerasan di tanah Papua guna mendapatkan kepercayaan penduduk orang asli Papua, sebagai bagian dari Indonesia, jika bara disintegrasi bangsa mau ditekan dari tuntutan Papua Merdeka.
Ditulis oleh:
J.W.Ronaldo
Penulis merupakan lulusan Antropologi FISIP UNCEN, yang kini aktif menulis tentang isu-isu sosial politik di Tanah Papua. Untuk melihat tulisan-tulisan penulis yang lain dapat mengunjungi blog; http://sabacarita.blogspot.com/
Daftar Pustaka:
Chauvel, Richard. (2005). Constructing Papua Nationalism: History, Ethnicity, and Adaptation. East-West Center, Washington.Meteray, Bernarda. (2012). Nasionalisme Ganda Orang Papua. Jakarta:Buku Kompas.
 
