|  | 
| Ilustrasi: J.Ronaldo | 
Mengindikasikan bahwa nenek moyang orang Papua adalah pejuang tangguh, petani ulet yang sengaja dilupakan, secara sistematis dari berbagai peradaban dunia.
Semua penemuan di bidang pertanian yang intens menjadi salah satu penemuan terbesar dalam menumbuh kembangkan strata sosial, politik, budaya yang kompleks.
Sebab dengan pengembangan pertanian intens berbagai imperium, kekaisaran boleh berdiri kokoh. Karena pertanian adalah sumber surplus pangan yang mendorong berbagai spesialisasi dalam tatanan strata sosial dan menopang berbagai peradaban dunia.
Sebagaimana negara adidaya yang harus didukung oleh stabilitas ekonomi tetapi juga kecukupan pangan.
Penduduk orang asli Papua yang mendiami dataran Tinggi Papua, telah berkecimpung dalam bercocok tanam menggunakan tugal (hortikultura), teknologi sederhana yang dibuat untuk digunakan sebagai alat garapan lahan.
Tugal tidak bisa dipandang sebatas teknologi sederhana yang tidak dapat berdaya saing dengan teknologi modern yang beralat logam maupun besi, sebab dengan tugal nenek moyang penduduk dataran Tinggi Papua telah mengembangkan berbagai jenis (varietas) pangan yang kaya akan protein dan nutrisi.
Walaupun kemampuan bercocok tanam penduduk dataran Tinggi Papua tidak dapat diragukan dari berbagai hasil varietas pangan yang dikembangkan namun, penduduk orang asli Papua yang mendiami dataran Tinggi Papua, tidak dikenal dan diakui sebagai sang agriculturalis yang memiliki kemampuan dibidang pertanian sebagaimana bangsa Sumeria yang mengembangakan pertanian di Mesopatamia dan Aztec yang mengembangkan diversitas pangan di benua Mezo Amerika..
Dengan tugal nenek moyang penduduk dataran Tinggi Papua telah berhasil membudidayakan dan mengembangkan varietas buah merah (pandanus conoideus) yang dapat mereka bedakan dengan bentuk fisik, daun, maupun buah.
Sebagaimana Yaniruk Kogoya salah satu orang lani yang mendiami dataran Tinggi Papua dapat menyebutkan beberapa jenis buah merah dalam bahasa mereka yakni: Yipagen, Kenen, Mbarugom, Maler, Kwangok, Mbilim, Muni, Tambir, Kima.
Sedangkan untuk ubi jalar (ipomoea batatas) mereka dapat mengenal beberapa jenis ubi jalar yang dibedakan berdasarkan warna, jenis daun maupun tekstur ubi jalar yang mereka sebut dengan: Ngelakwe, Yoban, Mutan, Luwen, Abila, Lingge Wagarak, Maluguren.
Merupakan beberapa perbandingan yang dapat dijadikan acuan tentang keuletan, kemahiran, kemampuan dan keberhasilan dalam mendomestikasi dan mengembangkan berbagai varietas pangan.
Namun kini, mereka malah disindir dengan berbagai stigma dan label yang merendahkan harkat dan martabat mereka. Karena mereka lebih condong dipandang sebagai kelompok komunitas yang hidup tanpa busana, pemalas, hingga berbagai stereotipe negatif lainnya.
Yang diwacanakan dan dilabelkan kepada penduduk dataran Tinggi Papua dan dipublikasikan secara massal menggunakan berbagai platform media.
Dan kita tidak bisa beranggapan bahwa hal ini biasa saja, karena dominasi (hegemoni) tidak selalu hadir melalui kekerasan tetapi melalui dominasi wacana sebagaimana diungkapkan oleh Antonio Gramsci.
Demi membentuk tembok pemisah, hirarki antara ras yang di superioriorkan dan yang di inferiorikan.
Sebagaimana komunitas dataran Tinggi Papua yang dilupakan dan melupakan dirinya sebagai agriculturalis yang mampu beradaptasi dengan topografi Tanah Papua yang menantang serta kemahiran dalam mengembangkan berbagai varietas pangan.
Merupakan bagian penting dari peran wacana dari yang mendominasi kepada yang didominasi karena wacana berperan penting dalam membentuk kesadaran dan menumbuhkan mentalitas inferior maupun superior.
Dan kini, dengan sinis dunia memandang penduduk dataran tinggi Papua sebagai kawanan primitif yang perlu diberdayakan.
Dengan wacana dominan yang merendahkan penduduk dataran Tinggi Papua karena telah dipublikasikan secara massal dan menjadi konten di berbagai platform mes media yang kita konsumsi sehari-hari dan berhasil membentuk frame dan image negatif tentang penduduk dataran Tinggi Papua.
Padahal nenek moyang penduduk dataran Tinggi Papua telah diakui sebagai kawanan agricukturalis yang ulet, yang mampu beradaptasi dengan iklim serta topografi Tanah Papua yang menantang dan mampu mengembangkab berbagai varietas petatas, keladi, tebu, pisang hingga buah merah.
Hal ini, bukan soal pengakuan namun, tentang kebenaran sejarah yang patut diwacanakan kembali demi membendung wacana dominan.
Dan diajarkan dalam berbagai jenjang pendidikan formal di Tanah Papua, karena wacana inferioritas adalah wabah sosial yang menjalar dan merambat ke sendi-sendi psikologis yang harus dihadang dengan narasi sejarah yang benar dan objektif.
Sebab wacana inferioritas yang dibiarkan dan berkembang secara liar dan bebas dapat merambat merusakan tumbuh kembang generasi penerus agriculturalis di dataran Tinggi Papua.
Dan menumbuh-kembangkan mentalitas inferior, yang tidak layak dibenarkan karena penduduk dataran tinggi Papua adalah kelompok agriculturalis yang egaliter, yang telah ada sejak dahulu kala, kini dan nanti sebagai bangsa yang berdaulat atas pangan.
Walani, 28 September 2025
Ditulis oleh:
J.W.Ronaldo
Penulis merupakan lulusan Antropologi FISIP UNCEN, untuk melihat tulisan-tulisan penulis yang lain dapat mengunjungi blogger penulis; http://sabacarita.blogspot.com/
Seri Ke-III Edisi Sejarah
Daftar Pustaka:
- Muller, Kal (2008). Mengenal Papua. Daisy World Books.
- Kogoya, Yaniruk. Wawancara. Dilakukan oleh Penulis, 25 September 2025.
 
