|  | 
| Ilustrasi Gambar: Jronaldo | 
Yang patut diapresiasi, sebab keberagaman berbagai pangan itu dikembangkan menggunakan tunggul (hortikultura). Namun nyata, kemahiran, keuletan orang Papua dibidang pertanian tidak dipandang sebagai kemajuan, capaian yang patut diapresiasi.
Sebagaimana orang Papua yang mendiami dataran tinggi Papua telah lama menggembangkan berbagai varietas pangan dan berhasil mendomestikasi tanaman dan tumbuhan dari luar dan berhasil mengembangannya.
Tentu pengembangan berbagai varietas petatas, yam atau keladi, tebu dan pisang tidaklah mudah, dibutuhkan keuletan, kemahiran serta ketekunan dalam bertani.
Proses mendomestikasi berbagai jenis pangan melalui sistem pertanian telah mendorong pengembangan berbagai jenis varietas petatas di Papua sebagaimana suku Nyalik di Distrik Silimo Kabuapten Yalimo telah menggembangkan 33 varietas petatas.
Dan hasil analisis karbon, menunjukan masyarakat mulai membuka lahan untuk berkebun secara sederhana sekitar 6.000 tahun yang lalu. Medio ini sejajar dengan budaya pertanian awal di Amerika Selatan, Mesir, China, dan lembah Sungai Eufrat dan Tigris. Hasil riset juga mengungkap adanya sampel serbuk sari buah merah, dan jejak karbon pembakaran sejak 7.000 tahun lalu di Papua, (Ato and Yunus 2022).
Yang memberikan indikasi bahwa budaya pertanian di dataran tinggi Papua telah dimulai ribuan bahkan puluhan tahun dan patut diapresiasi karena budaya pertanian intens dan menetap juga disebut sebagai revolusi pertanian oleh Yuval Noah Harari dalam bukunya yang berjudul SAPIENS: Riwayat Singkat Umat Manusia.
Ironisnya, keuletan, kemahiran penduduk orang asli Papua yang mendiami dataran Tinggi Papua di bidang pertanian tidak dipandang sebagai kemajuan, kehebatan dan keuletan yang patut didorong dan diapresiasi.
Walaupun telah berhasil mengembangkan berbagai jenis varietas ubi, pisang, keladi dan tebu namun, dengan berbagai alasan klasifikasi tingkat peradaban manusia, segala temuan, keuletan dan peradaban penduduk orang asli Papua yang mendiami dataran Tinggi Papua sering dipandang sinis.
Padahal temuan sistem pertanian menetap dan intens telah mendorong perubahan sistem pemerintahan yang berpusat hingga pengembangan jaringan sosial dalam tatanan kehidupan bermasyarakat serta berdampak pada booming populasi dunia bahkan juga bagi penduduk orang asli Papua yang mendiami dataran tinggi.
Sebagaimana orang Mee, Lani yang mendiami dataran Tinggi Papua dengan tingkat kepadatan penduduk yang paling padat dibandingkan dengan penduduk orang asli Papua yang mendiami wilayah Pesisir.
Kontribusi temuan budaya pertanian telah mendorong perubahan tatanan sosial dan peradaban yang tidak bisa disepelekan, baik dalam sistem pemerintahan yang berpusat hingga pembentuk struktur sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Sehingga pengakuan akan keuletan, kemahiran penduduk orang asli Papua yang mendiami dataran tinggi yang juga dikenal sebagai wilayah yang terisolir patut diapresiasi.
Karena semua pembudidayaan jenis serta pengembangan varietas petatas, yam/keladi, pisang dan tebu dilakukan tanpa bantuan teknologi canggih atau berbahan dasar logam, dan diklasifikasikan oleh Aditjondro sebagai "budaya pertanian yang tergolong paling canggih di dunia adaptasi dan inovasi tanpa bantuan  sepotong logam."
Namun sayang, dalam proses intervensi pemerintah Indonesia dengan kedok pembangunan sering mencerabutkan penduduk orang asli Papua yang mendiami dataran Tinggi, karena pemerintah Indonesia memandang kelompok orang asli Papua yang mendiami dataran Tinggi adalah kelompok yang tertinggal, terbelakang, terisolir dan telanjang.
Sehingga program-program pemberdayaan di bidang pertanian di dataran Tinggi Papua sering diintervensi tanpa pengenalan konteks, yang memaksakan pengembangan budidaya padi tanpa melakukan penggembangan tanaman petatas, keladi, pisang, tebu yang telah dikembangkan oleh penduduk orang asli Papua, yang mendiami dataran Tinggi.
Yang mungkin atas dasar "paham hirarki kebudayaan yang mendorong perluasan padi di berbagai daratan tanah Papua," (Aditjondro;2000.hlm.51), dipandang sebagai keharusan.
Walaupun pengenalan berbagai jenis padi terhadap penduduk orang asli Papua yang mendiami dataran tinggi, patut diapresiasi sebagai bagian dari kekayaan diversifikasi pangan.
Namun, tanaman jenis padi dipandang tidak cocok untuk iklim serta geografis Papua dan benar-benar tidak memberikan dampak yang signifikan bagi kehidupan penduduk orang asli Papua yang mendiami dataran Tinggi Papua.
Yaloaput, 12 September 2025
Ditulis oleh:
J.W.Ronaldo
Penulis merupakan lulusan Antropologi FISIP UNCEN. Untuk melihat tulisan-tulisan yang lainnya dapat berkunjung melalui:https://sabacarita.blogspot.com/
Seri Ke-II Edisi Sejarah
DAFTAR PUSTAKA:
Aditjondro, George Junus. 2000. Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat Dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: ELSHAM.
Ato, Stefanus, and Saiful Rijal Yunus. 2022. "Sejarah Pertanian Tua Ada di Baliem." Januari 29. Accessed September 12, 2025. https://www.kompas.id/artikel/ekspedisi-tanah-papua-hipere-dan-sejarah-tua-pertanian-baliem.
Harari, Yuval Noah. 2017. HOMO SAPIENS: Riwayat Singkat Umat Manusia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
 
