MITOS KEMEWAHAN DAN KEMASLAHATAN DI TANAH PAPUA: Menjual Keberagaman Pangan Demi Nasi.

Ilustrasi Gambar: Jronaldo


Kenapa masyarakat adat di Tanah Papua lebih memilih nasi daripada berbagai jenis umbi-umbian, pisang, sagu hingga berbagai jenis pangan lokal, yang mereka miliki?

Apakah nasi lebih berkhasiat serta menawarkan berbagai kemaslahatan fisik sehingga masyarakat adat yang tersebar di seluruh tanah Papua lebih memilih nasi sebagai hidangan wajib yang harus disediakan.

Untuk menilik kehadiran nasi sebagai menu wajib, perlu dilihat jejak epistemik kehadiran nasi di Tanah Papua. Nasi hadir dan diperkenalkan oleh Belanda hingga diteruskan oleh pemerintah Indonesia kala rezim Soeharto dengan gencar melalui program Swasembada Beras atau Revolusi Hijau.

Sehingga pengenalan nasi kepada masyarakat adat Papua perlu dilihat sebagai bagian dari praktik gastro kolonialisme pangan, dimana nasi diperkenalkan, di kampanye dan diwacanakan kepada masyarakat sebagai makanan yang lebih layak dari semua pangan lokal.

Hal ini membuat mereka tergantung sama pangan yang bukan hasil budidaya dan produksinya. Praktik seperti ini, perlu dilihat sebagai bagian dari upaya Gastro Kolonialisme ala pemerintah Indonesia, terhadap masyarakat adat di Tanah Papua.

Dimana pengenalan beras oleh pemerintah telah menggeser konsumsi pangan lokal bahkan ironisnya tidak memberikan peluang ekonomis, kemandirian dan kedaulatan pangan bagi komunitas masyarakat adat di Tanah Papua tetapi, menciptakan siklus circle ketergantungan.

Dimana berbagai pangan lokal yang dibudidaya tanpa pestisida dijual dengan harga yang murah demi membeli beras, mie instan guna dikonsumsi tanpa lauk untuk menjaga keseimbangan gizi.

Karena beras menjadi menu wajib yang harus disediakan. Sebagaimana pengakuan (WK) saat diwawancara penulis.

"Sekarang kita harus jual ubi, sayur, pisang, buah merah untuk beli beras karena anak-anak dan orang tua harus makan nasi," (WK;2025).


Sehingga pengenalan pembudidayaan padi di Lembah Baliem maupun di Tanah Papua pada umumnya harus dilihat sebagai pola penjajahan melalui pangan.

Karena pengenalan pembudidayaan padi bukan dilakukan sebagai upaya pemerintah untuk peningkatan taraf hidup masyarakat adat di Tanah Papua. Tetapi sebagai upaya untuk membuat komunitas masyarakat adat di Tanah Papua tergantung sama pangan hasil introduksi dari luar yang bukan hasil budidayanya.

Walaupun masyarakat adat di Tanah Papua memiliki banyak pilihan pangan hasil budidayanya namun, mereka kini tergantung sama nasi (beras), mie instan hingga berbagai makanan olahan yang bukan hasil budidaya dan produksi hasil pertaniannya.

Ketergantungan akan beras dan mie hingga berbagai makanan instan juga bertumbuh karena masyarakat adat di Tanah Papua sering menilai makanan sebagai bagian dari kemewahan ataupun status sosial.

Mereka yang mengkonsumsi pangan lokal sering dikonotasikan sebagai keterbelakangan sedangkan mereka yang mengkonsumsi beras, mie ataupun makan instan lainnya sering dikonotasikan sebagai kemajuan.

Padahal yang perlu diperhatikan adalah kandungan gizi dari makanan yang dikonsumsi bukan, soal keterbelakangan ataupun kemajuan.

Karena itu beras ataupun mie instan harus dinilai secara cermat oleh masyarakat adat di Tanah Papua, sebab tanpa beras masyarakat adat di Tanah Papua perna hidup, masih hidup dan akan perna hidup.

Sehingga lingkaran siklus ketergantungan ini harus dibendung dengan wacana dekolonisasi mental ketergantungan akan nasi, mie hingga makan instan lainnya.

Bahkan pengenalan pembudidayaan padi di Tanah Papua, tidak memberikan peluang serta manfaat inklusif yang berkelanjutan secara ekonomis bagi masyarakat adat di Tanah Papua.

Tetapi, pembudidayaan padi, telah menciptakan lingkaran setan akan konsumsi beras sebagai makan pokok yang harus disediakan di berbagai lumbung ataupun dapur masyarakat adat di Tanah Papua.

Sehingga tulisan ini hadir untuk menilik praktik mitos kemewahan yang ditawarkan oleh nasi (beras) dan berbagai makanan instan lainnya di Tanah Papua, yang sebenarnya tidak menggeser keberagaman pangan tetapi, telah menciptakan ketergantungan terhadap beras sebagai makan pokok.

Dimana pembudidayaan berbagai pangan dijual demi membeli dan mengkonsumsi nasi, mie instan dan berbagai produk yang mengandung bahan pengawetan yang memiliki nilai gizi yang rendah dan telah menjadi menjadi tolak ukur; kemewahan bahkan kemapanan status sosial serta kemaslahatan semu dalam pikiran masyarakat adat di Tanah Papua, yang perlu di recovery melalui peran wacana para intelektual Papua, Dewan Adat Papua, Gereja dan pemerhati masyarakat adat di Tanah Papua.

Untuk membangun wacana-wacana baru tentang penting pembudidayaan dan konsumsi pangan lokal sebagai upaya menumbuh kembangkan kedaulatan masyarakat adat atas pangan dan tanah.

Seraya menekan angka gizi buruk yang marak di seantero tanah Papua. Sebab konsumsi dan ketergantungan kita akan mono pangan dan produk instan lainnya adalah biang kerok penindasan (ketergantungan), gizi buruk serta berbagai wabah yang sedang menerjang Tanah dan Orang Papua.




Walani, 19 Oktober 2025



Ditulis oleh:


J.W.Ronaldo
Penulis merupakan lulusan Antropologi FISIP UNCEN, untuk melihat tulisan-tulisan penulis yang lain dapat mengunjungi blogger penulis melalui; http://sabacarita.blogspot.com/



Seri Agricultural Edisi Ke-V



Wawancara:

  • WK.Diwawancara oleh. Penulis. 27 September 2025