|  | 
| Ilustrasi Gambar: Jronaldo | 
Kemiskinan, malnutrisi hingga kematian adalah wabah yang harus dibendung di Tanah Papua. Ironisnya, wabah ini bertumbuh secara struktural karena konsumsi beras dan makanan instan yang disodorkan oleh pemerintah sebagai makanan sehat.
Peralihan konsumsi dari keragaman pangan lokal menuju mono pangan dan makanan instan olahan industri modern adalah permasalahan serius yang perlu diperhatikan dan disuarakan.
Sebagaimana dalam seruan United Nation yang mendeklarasikan "Biodiversity is Life-Biodiversity is Our Life", pada tahun 2010 (Reyes Tagle.hlm; 704).
UN telah mengakui ancamanan pembudidayaan mono pangan ala industrialisasi modern, yang dapat mengontrol dan memanipulasi pangan tetapi juga hidup masyarakat adat di dunia sebagai milik pribadi.
Yang bertentangan dengan keuletan  kemahiran serta kemaslahatan dari sistem pertanian masyarakat adat di dunia yang mengembangakan berbagai varietas pangan lokal sebagai milik kolektif.
Dimana pembudidayaan berbagai varietas pangan lokal telah menjadi bagian penting dalam menjaga kedaulatan atas hidup, pangan serta keberlangsungan iklim yang dapat membendung monopolisasi sepihak dengan maraknya kehadiran industri modern di bidang pertanian yang menghasilkan berbagai karbon dan emisi.
Keberagaman pangan harus dilihat juga sebagai ketahanan serta kedaulatan masyarakat adat atas tanah, pangan, hidup serta keberlangsungan iklim yang harmonis dimana masyarakat adat  dapat mengembangkan, memilih, mengkonsumsi berbagai varietas pangan lokal tanpa harus takut akan isu-isu perubahan iklim.
Tanpa takut disodorkan pangan olahan industri modern yang dapat memonopoli kebutuhan pangan, kehidupan masyarakat adat hingga perubahan iklim karena emisi dan karbon yang dihasilkan dari berbagai produk modern ala industri
Mono pangan serta berbagai produk produksi a'la industri modern harus dilihat sebagai wabah yang merambat, menggeser konsumsi keragaman pangan lokal, penyebab gizi buruk, kematian hingga kerusakan lingkungan hidup.
Yang menjadi biang kerok kemelaratan yang harus dibendung melalui kesadaran kolektif, pembudidayaan dan konsumsi pangan lokal sebagai jalan alternatif atas hidup.
Sebab pembudidayaan pangan lokal oleh masyarakat adat di Tanah Papua sebatas dijadikan alat transaksi untuk konsumsi nasi maupun berbagai produk industri modern yang dijadikan menu wajib dan utama yang harus disediakan di berbagai lumbung masyarakat adat di Tanah Papua.
Padahal nasi dan berbagai produk instan yang mengandung bahan pengawet yang dikonsumsi tanpa lauk sangat tidak baik bagi tubuh.
Yang membutuhkan kalori, protein dari berbagai pangan yang dibudidaya masyarakat adat di Tanah Papua tanpa pestisida maupun bahan pengawet.
Pembudidayaan dan konsumsi pangan lokal bagi masyarakat adat di Tanah Papua menjadi keharusan yang harus dijaga, dirawat dan diwariskan bagi anak cucu.
Karena ketergantungan konsumsi pangan buatan industri modern tidak hanya mengancam kedaulatan masyarakat adat atas pangan dan kesehatan tetapi, juga dapat merambat pada proses manipulasi kepemilikan atas varietas pangan yang kini disebut dengan istilah GMO (genetic modification organism) yang sebenarnya membahayakan hak dan akses  masyarakat adat  atas pembudidayaan berbagai varietas pangan lokal yang telah dikembangkan.
Sebab GMO tidak hanya menjadi alat monopolisasi varietas tetapi juga sebagai alat kedaulatan industri atas kepemilikan varietas yang dikembangkannya, yang dapat mengguncang sendi-sendi pembudidayaan dan kepemilikan serta akses akan jenis varietas yang dibudidaya..
Pembudidayaan dan konsumsi pangan a’la masyarakat adat adalah suatu keharusan yang harus dipertahankan dan diwariskan demi menggeser biang kerok kemelaratan yang menyebabkan; kelaparan, malnutrisi, kematian maupun ancaman pengalihan tanah masyarakat adat kepada investor.
Yang kini hadir di Tanah Papua dengan mitos kesejahteraan, kemaslahatan serta kemewahan guna mensubordinasikan, menggeserkan keragaman varietas pangan lokal yang telah dijaga, dirawat dan diwarisi secara turun temurun dengan produk buatan industri modern.
Bagi masyarakat adat di Tanah Papua yang bergantung dan menggantungkan hidup dengan nasi serta beragam junk food dan makanan instan yang memiliki nilai gizi yang rendah.
Sehingga tulisan ini, hadir untuk menilik wabah kemiskinan, gizi buruk hingga kelaparan di Tanah Papua yang merupakan bagian terencana dari praktik Gastro Kolonialisme Pangan, dimana kesadaran masyarakat adat di Tanah Papua dibangun, diarahkan dengan sadar untuk memilih dan tergantung sama beras serta makan instan lainnya buatan industri modern melalui tangan dan mulut pemerintah.
Yang telah direkam dan disebarluaskan di berbagai platform media sosial, oleh para aparatur negara Indonesia yang bertugas di berbagai pelosok Tanah Papua.
Dimana, masyarakat adat menukar berbagai hasil pangan lokal hingga hewani demi mendapatkan sebungkus mie instan, sarden, hingga beragam produk lainnya yang memiliki nilai gizi yang rendah.
Yang memiliki potensi penyebab malnutrisi, penyakit hingga kematian bagi generasi penerus dan masyarakat adat di Tanah Papua.
Karena itu, kesadaran harus ditumbuh-kembangkan dengan wacana tentang pembudidayaan pangan lokal, konsumsi pangan lokal sebagai upaya kedaulatan-kemandirian masyarakat adat  atas tanah dan pangannya.
Demi menjaga keberlangsungan dan keberlanjutan hidup masyarakat adat di Tanah Papua yang tersisa.
Rumah, tempat ibadah, para-para adat hingga kampus harus menjadi wadah fasilitatif untuk mewacanakan ulang kedaulatan atas pangan, hidup dan tanah melalui pembudidayaan pangan dan konsumsi pangan lokal.
Walani, 22 Oktober 2025
Ditulis oleh:
J.W.Ronaldo
Penulis merupakan lulusan Antropologi FISIP UNCEN, yang aktif menulis tentang isu-isu sosial-politik dan menyuarakan hak-hak masyarakat adat di Tanah Papua. untuk melihat tulisan-tulisan penulis yang lain dapat mengunjungi blogger penulis melalui; http://sabacarita.blogspot.com/
Daftar Pustaka:
- Reyes Tagle, Yovana. "Agriculture." Native Peoples of the World: An Encyclopedia of Groups, Cultures, and Contemporary Issues, edited by Steven Danver, vol.3, Rotledge, 2013,p. 704.
 
