|  | 
| Ilustrasi Gambar: oleh Meta AI | 
Seperti gerakkan komunitas Zakheus Pakage yang distigmakan dengan wege bage yang berarti orang yang mengganggu dan merusak tatanan kehidupan masyarakat oleh ogai (orang asing dalam sebutan bahasa Mee), (Suryawan, 2016).
Stigmatisasi terhadap berbagai gerakan teologis komunitas masyarakat adat di Tanah Papua, merupakan wujud nyata dari praktik fanatisme teologis tertentu, yang “bertujuan untuk mencegah orang Papua dari cengkeraman penguasa kegelapan,” (Giay,1996, dalam Suryawan, 2016).
Dasar keyakinan dari kepercayaan agama tertentu dijadikan pijakan untuk menghakimi keyakinan komunitas masyarakat adat di Tanah Papua, tanpa adanya replikasi serta kontekstisasi teologis komunitas masyarakat adat untuk diinterpretasikan berdasarkan teologis yang dibawa dan disebarkan bagi komunitas masyarakat adat di Tanah Papua.
Berbagai gerakan teologis di tanah Papua yang diidentifikasi, dibuat kerangka konseptual oleh para penyiar yang memiliki latar belakang di bidang antropologi guna difabrikasi berdasarkan standar pengertian mereka, seperti yang dilakukan oleh (Kamma, 1972, dalam Peyon, 2021) “yang mengkonsepsikan semua gerakan-gerakan teologis di tanah Papua dengan konsep kultus kargo atau Mesianik.”
Perspektif inilah yang memicu praktik diskriminatif, represif terhadap penganut teologis lokal, di Tanah Papua karena dinilai oleh penyiar berdasarkan standar norma ataupun dogma yang dianutnya. Padahal di Tanah Papua tidak ada kultus kargo maupun kultus yang mirip dengan gerakan Mesianik di Timur Tengah.
Hal ini berbahaya, karena standarisasi berbagai teologis lokal di tanah Papua oleh para outsider dapat berujung pada stereotip negatif demi mengeliminasi teologis lokal yang menumbuh kembangkan daya emansipatif komunitas masyarakat adat di tanah Papua.
“pengharapan akan kehidupan yang lebih baik, yang penuh keadilan: kemakmuran dan kehidupan yang didalamnya orang saling menghargai dan menjunjung tinggi kebersamaan,” (Suryawan, 2016).
Perubahan ini terjadi karena kehadiran PT Freeport Indonesia yang mengeksploitasi gunung suci Nemangkawi seraya mengubah namanya menjadi Grasberg yang tentu juga mengubah perspektif komunitas masyarakat adat Damal dan Amungme tentang nilai-nilai kesakralan, kesucian demi mewujudkan zaman kebahagiaan yang diharapkan dari gerakkan Hai. Transformasi ini tentu terjadi karena benturan kepentingan dan tafsiran teologis yang dibawa penyiar yang berhasil mereduksi teologis komunitas masyarakat adat sebagai bentuk-bentuk kepercayaan berhala.
Yang menjadi bara penghambat perkembangan teologi lokal dalam menumbuh-kembangkan mentalitas dan jiwa emansipatif demi mewujudkan zaman kebahagiaan yang diharapkan di Tanah Papua.
Sebab makna Hai bagi komunitas masyarakat adat Damal dan Amungme di Timika tidak lagi mendapatkan tempat yang tepat untuk pemaknaan dalam kehidupan komunitasnya karena arus eksploitasi gunung suci oleh PT Freeport Indonesia telah menghilangkan makna kesakralan yang mewajibkan komunitas masyarakat adat untuk hidup selaras dengan alam.
Perubahan-perubahan ini, tentu terjadi karena transformasi paradigma dalam mengkonsepsikan makna hai bagi komunitas masyarakat adat Damal dan Amungme dalam mereinterpretasi tatanan sosial dan kosmologinya melalui paradigma cangkokan eropasentris.
 
