| Transmigrasi nasional berlangsung sejak era pra-repelita hingga repelita VII di tanah Papua. telah dimukimkan sebanyak 78.650 kepala keluarga (KK), 306.447 jiwa dalam 270 unit pemukiman transmigrasi (UPT) yang tersebar di seluruh tanah Papua. Program transmigrasi nasional ini berakhir pada penempatan trans-migran periode tahun 1999-2000, sebanyak 650 KK atau 2.884 juta jiwa. Yang tersebar di Manokwari Teluk Bintuni, di Bobo sebanyak (200 KK=210 Jiwa), Keerom (Arso 14) 100 KK= 499 Jiwa, Merauke (Muting 10) 100 KK=499 Jiwa, Mimika di lokasi Timika 13, Bintuka 250 KK=1054 Jiwa. Baca (Pona, 2009). Transmigrasi nasional yang masif dan intens di tanah Papua memberikan dampak baik dan juga buruk. Namun, pada umumnya yang terjadi di tanah Papua. Transmigran yang dimukimkan di tanah Papua mengancam kelangsungan dan keberlanjutan hidup Penduduk orang asli Papua serta keberlanjutan habitat ekologi di tanah Papua. Sehingga dalam tulisan ini, penulisan meminjam istilah yang digunakan oleh Elmslie & Webb-Gannon, 2014 dengan sebutan (slow-motion genocide) pemusnahan gaya lambat sebagai depopulasi penduduk orang asli Papua yang terstruktur-sistematis guna menekan komposisi penduduk orang asli Papua dari para transmigran demi membatasi gerakan separatisme di tanah Papua oleh transmigran Indonesia. Sebab program transmigrasi nasional maupun transmigrasi spontan yang tidak terkontrol yang dimukimkan di tanah Papua dengan berbagai tujuan, baik; ekonomi, pencarian pekerjaan, hingga mutasi PNS hingga pegawai perusahan bahkan Swasta di tanah Papua. Mengancam dan menekan HAK HIDUP penduduk orang asli Papua sebagai warga negara yang pada ujungnya bermuara pada (slow motion genocide) depopulasi, penurunan angka harapan hidup yang menekan pertumbuhan penduduk orang asli Papua. Menyebabkan peminggiran (marginalisasi) dan pengabaian hak-hak; politik, sosial-ekonomi, kesehatan hingga pendidikan penduduk orang asli Papua. Sebagai praktek slow-motion genocide untuk menggambarkan keadaan penduduk orang asli Papua. Dengan berbagai kebijakan pemerintah di tanah Papua yang terlihat tidak menguntung posisi dan keadaan penduduk orang asli Papua dari masa kepemimpinan presiden pertama hingga kini. Yang memberikan kesan bagi penduduk orang asli Papua selama 7 dekade, sejak 1963 hingga kini 63 tahun pemerintah Indonesia dengan kata pembangunan (development) berbagai kebijakan yang dilakukan untuk membangun infrastruktur serta penyediaan sarana-prasarana untuk mendukung pembangunan dibidang; ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang masal, terlihat tidak memberikan perubahan yang signifikan bagi keadaan penduduk orang asli Papua menuju taraf hidup yang lebih baik. Rendah indeks pembangunan manusia (IPM) manusia papua dibawah rata-rata (IPM) nasional, angka harapan hidup penduduk orang asli Papua menurun drastis yang bermuara pada penekanan jumlah penduduk orang asli Papua. Walaupun laju pertumbuhan IPM yang drastis di tanah Papua namun; peningkatan IPM itu hanya terjadi dari kontribusi para transmigran yang mendiami tanah Papua dengan kata lain "laju pertumbuhan IPM ditujukan di daerah-daerah mayoritas para transmigra."  seperti; Kota Jayapura, Kota Sorong, Merauke, Timika. Sehingga peningkatan indeks pembangunan manusia yang signifikan dari tahun 2010-2018 di Provinsi Papua dan Papua Barat dalam penelitian (Pamungkas, Oktafiani, & Imbhiri, 2022). sebagaimana dijelaskan dalam gambar dibawah in: Gambar 1.2: diolah oleh; Jronaldo Tabel 1.1: Sumber: (Pamungkas, C., Oktafiani, I., & Imbhiri, L; 2022) Tidak bisa generalisir untuk menggambarkan keberhasilan pembangunan pemerintah Indonesia di tanah Papua bagi penduduk orang asli Papua sebab; tampaknya pembangunan infrastruktur dan sarana prasarana yang baik hanya ditujukan di daerah-daerah yang dihuni para transmigran. Yang berkontribusi sebagai pelaku utaman dalam "pertumbuhan ekonomi di Papua dari 2.79% sampai 7.17% dan Papua Barat antara 1.51% hingga 3.74%. baca (Pamungkas, Oktafiani, & Imbhiri, 2022). Namun, yang menjadi pertanyaan; apakah pembangunan itu telah memberikan perubahan yang signifikan guna memperbaiki taraf hidup yang lebih baik bagi penduduk orang asli Papua. Dari berbagai kebijakan pemerintah di tanah Papua seperti; transmigrasi nasional yang dicanangkan dengan penyediaan 2 hektar lahan per kepala keluarga, hingga proyek strategis nasional (PSN) di Merauke, yang disebut sebagai Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang meraup 1.2 juta hektar tanah dengan biaya $5 Miliar yang diatur dalam Inpres No.1 tahun 2010. Yang membuka lahan secara luas dan merusakan penghidupan tradisional serta mengalih fungsikan hutan dan lahan gambut masyarakat adat Malind di Merauke. Hingga maraknya pemekaran daerah otonomi baru (DOB) ilegal “tanpa adanya persetujuan dari DPRD, DPRP hingga MRP sebagai Lembaga representatif penduduk orang asli Papua dan perwakilan rakyat.” (Jigibalom, 2024) Dinilai cacat secara hukum dan administratif, sebab berbagai kebijakan pemerintah atas nama pemerataan pembangunan guna pemekaran daerah otonomi baru yang masal terlihat sebagai sikap ketidak proporsional, guna pemberdayaan dan peningkatan taraf hidup yang lebih baik oleh pemerintah Indonesia terhadap penduduk orang asli Papua. Sehingga penulisan ini hanya membahas kebijakan transmigrasi nasional yang dicanangkan presiden terpilih periode (2024-2029) Jend Prabowo Subianto. Dengan penyediaan 2 hektar lahan serta perumahan per kepala keluarga yang dibiayai oleh negara. Tulisan ini hanya mau memberikan perspektif bahwa kebijakan transmigrasi nasional yang dicanangkan presiden terpilih dengan dalil pemerataan penduduk serta pembangunan merupakan dalil untuk alasan pemulusan hidden agenda (agenda terselubung) yang disebut (Elmslie & Webb-Gannon, 2014) sebagai gerakkan pemusnahan perlahan (slow motion genocide). Berbagai studi kelayakan tentang program trans-migrasi nasional di tanah papua memberikan gambaran yang jelas tentang persoalan-persoalan hak ulayat, peminggiran, pengabaian hingga konflik horizontal dan vertikal. Sebagaimana dijelaskan (Pona, 2009) tentang dampak yang disebabkan oleh transmigrasi nasional di tanah Papua. Serta pengabaian persoalan yang mendasar oleh pemerintah Indonesia melalui 4 akar persoalan masalah di tanah Papua yang sudah dirumuskan dengan baik oleh LIPI sekarang (BRIN) melalui bukunya yang berjudul “Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008). Bahwa; 
 Sehingga tulisan ini, hadir untuk memberikan perspektif bahwa pembangunan (development) yang bermakna ganda yakni; dari apa dan untuk apa. Perlu diupayakan oleh penduduk orang asli Papua dengan pemerintah demi pembangunan yang memanusiakan manusia.. Karena persoalan “integrasi sosial itu persoalan kepercayaan, kesempatan untuk berkomunikasi dan bekerja sama itu ada dalam tiap-tiap suku-bangsa yang dipengaruhi oleh faktor Bahasa, komunikasi dan kegiatan kemasyarakatan.” (Herowitz, 1985) dalam (Pona, 2009). Sehingga perlu adanya pendekatan yang baru dalam membanguna Papua sebagai bagian dari Indonesia, jika tidak apa yang perna diprediksikan oleh Jendral Prabowo Subianto dalam debatnya bahwa; “2030 Indonesia akan bubar." Bisa terjadi sebelum tahun 2030 karena ketimpangan dan marginalisasi struktural-sistemik yang masif dan intens di tanah Papua. Oleh karena itu diperlukan pendekatan yamg holistik berbasis budaya dalam membangun suku-bangsa di Indonesia, terlebih khusus Papua. Karena pembangunan harus berasas pada; "Kemanusiaan yang adil dan beradab. Jika tidak berasas pada sila ke (2) cepat atau lambat Indonesia akan Bubar." Semoga tulisan ini, membangun wacana baru bagi penduduk orang asli Papua yang sedang dicerai-beraikan oleh pemilihan umum Bupati dan Gubernur di Tanah Papua. "Dengan meneruskan tulisan ini, anda telah berpartisipasi dalam membangun solidaritas dan dukungan bagi Masyarakat Adat Papua." Tanah Papua, 14 November 2024. Ditulis oleh: *Ronaldo Jigibalom Penulis merupakan alumni Antropologi Fisip UNCEN yang kini aktif menulis dan sedang mendalami kajian tentang Masyarakat Adat di Tanah Papua. *Reference:Elmslie, J., & Webb-Gannon, C. (2014). A Slow-Motion Genocide: Indonesia Rule In West Papua. Griffith Journal of Law & Human Dignity. Herowitz, D. L. (1985). Ethnic Groups in Conflict. Amerika Serikat: University of California Press. Jigibalom, R. (2024). Konflik Perebutan Tanah Antara Negara dan Masyarakat Adat di Papua. Retrieved November 14, 2024, from:https://sabacarita31.blogspot.com/2024/10/konflik-perebutan-tanah-antara-negara.html Pamungkas, C., Oktafiani, I., & Imbhiri, L. (2022). Makna Pembangunan Bagi Orang Asli Papua: Studi Terhadap Marginalisasi dan Depopulasi di Tanah Papua. 21. Retrieved November 14, 2024 Pona, L. (2009, Oktober 3). Transmigrasi Era Otonomi Khusus di Provinsi Papua. Humaniora, 21, 350-351. Retrieved November 14, 2024, from https://media.neliti.com/media/publications/11686-ID-transmigrasi-era-otonomi-khusus-di-provinsi-papua.pdf | 
MEDIA, KEKUASAAN DAN LEGITIMASI PEMBENARAN: Ketika Media Menjadi Saluran Propaganda di Tanah Papua.
Ilustrasi Gambar : Jronaldo Peran media sangat vital dalam menyuarakan berbagai persoalan di Tanah Papua. Tetapi juga sebagai wabah yang mempengaruhi dan menentukan perspektif kita atas berbagai persoalan kemanusiaan di Tanah Papua. Karena media tidak hanya menjadi wadah penyalur, penyambung dan pembawa informasi tanpa memandang batas-batas geografis bahkan ideologi politik maupun keyakinan dan budaya, sebab semua dijangkau media dalam sekali pencet. Sehingga tulisan ini hadir untuk menilik daya manipulatif media yang dilegitimasi oleh kekuasaan di Tanah Papua. Walaupun tidak semua media nasional maupun lokal menjadi saluran propaganda tetapi ada juga media-media yang menjadi mesin propaganda. Demi menebar wacana propaganda yang melegalkan kejahatan; penangkapan, penjarahan hingga pembunuhan dengan kedok heroisme, keberhasilan maupun kesetiaan terhadap pancasila dan negara Indonesia. Padahal pancasila tidak melegalkan pembunuhan, pancasila tidak memusuhi perbedaan. Tetapi, pancasila me...
 
