KONFLIK PAPUA YANG BERKEPANJANGAN ADALAH MURNI KONFLIK IDEOLOGI PAPUA MERDEKA BUKAN SOAL KESEJAHTERAAN.

oleh:

Ronaldo Jigibalom



Sudah 61 tahun sejak Papua diserahkan oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) pada 1 Mei 1963 hingga kini tahun 2024. Pemerintah Indonesia tidak mampu "GAGAL" mengindonesiakan penduduk orang asli Papua.

Orang Papua pun dipaksa menerima pemerintah Indonesia dengan suka cita oleh UNTEA (PBB) sebagai sumber malapetaka yang membawah duka cita dan air mata karena konflik kekerasan yang berlangsung secara masif bagi orang Papua hingga kini.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kini Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) telah memetakan 4 akar konflik kekerasan yang berkepanjangan di Papua
  1. Masalah Sejarah dan Status Politik Integrasi Papua.
  2. Kekerasan dan Pelanggaran HAM Masa Lalu dan Kini di Papua
  3. Kegagalan Pembangunan (Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi, Infrastruktur) di Papua
  4. Marginalisasi, Stigmanisasi, dan Diskriminatif terhadap Orang Papua
Sebagai sumber konflik kekerasan yang berkepanjangan di tanah Papua tetapi juga orang Papua sadar dan mengetahui bahwa sebelum UNTEA menyerahkan wilayah pemerintahan secara (sepihak) tanpa adanya keterwakilan ataupun keterlibatan dan persetujuan orang Papua kepada pemerintah Indonesia.

Indonesia telah melakukan ekspansi secara besar-besaran atas perintah tri komando rakyat (TRIKORA) ala Soekarno pada 1 Desember 1961 yang dikumandangkan di alun-alun Kota Yogyakarta yang juga merupakan hari ekspansi Indonesia untuk merebut secara paksa (menganeksasi) wilayah Papua menjadi bagian dari NKRI.

Karena itu, sejak 1 Desember 1961 hingga kini orang Papua menyadari dan melihat kehadiran pemerintah Indonesia di tanah Papua adalah murni kehadiran penjajah (kolonial) yang direpresentasikan oleh militer (TNI-Polri) yang marak dan nyata secara "terstruktur, masif, sistematis dan terus menerus dengan berbagai program pemekaran daerah baru, operasi militer, hingga berbagai penyamaran pekerjaan yang wajar dan tidak wajar oleh TNI-Polri di tanah Papua" baca (Yoman, 2022).


Karena itu, berbagai gejolak sosial politik serta konflik kekerasan yang terjadi di tanah Papua Barat hingga kini merupakan murni konflik kekerasan karena adanya Ideologi Papua Merdeka bukan karena kesejahteraan, ataupun kesenjangan pembangunan dibidang pendidikan, ekonomi, kesehatan dan infrastruktur yang sering dikampanyekan dan diperlihatkan oleh pemerintah Indonesia diberbagai media, bahkan forum-forum Internasional.


Sehingga tanah Papua dari tahun 1961 hingga kini merupakan wilayah perang (war zone) antara penduduk orang asli Papua dengan Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh (TNI-POLRI) karena adanya nasionalisme penduduk orang asli Papua yang berbeda dengan pemerintah Indonesia.


Sebagai antitesis dari NKRI harga mati a'la pemerintah Indonesia. Karena itu sampai kapan pun dan apapun tawaran pemerintah Indonesia melalui OTSUS No.1 tahun 2001 yang merupakan akronim dari Otonomi Kasus Khusus I bagi Papua yang telah Gagal di tanah Papua dan dilanjutkan dengan OTSUS Plus No. 2 tahun 2021 murni kebijakan politis untuk membungkam aspirasi Papua Merdeka.


Karena itu berbagai kebijakan politik yang diputuskan dan berbagai program yang dijalankan di tanah Papua atas keputusan pemerintah Indonesia di Jakarta merupakan murni kepetingan pembungkaman, pembasmian, dan penghilangan secara paksa Ideologi Papua Merdeka.



Daftar Referensi:

  • Muridan S. Widjojo. (2009). Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present,Securing the Future LIPI Press: Jakarta
  • Yoman Socratez Sofyan. (2022). Pemekaran dan Kolonialisme Modern Di Papua. Pustka Larasan: Denpasar.
  • Osborne, R. (2001). Kibaran Sampari: Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia diPapua Barat. diterjemahkan dari Indonesia's Secret War: the Guerilla Struggle in Irian Jaya. oleh ELSAM, Jakarta: ISBN: 979-8981-22-7.