24 Tahun Kematian HAM Di Tanah Papua: Mengenang Kematian Dortheys Hiyo Eluay.



Foto 1.1: Dorthey Hiyo Eluay


HAM di tanah Papua sebatas pajangan yang sering dipajangkan tanpa ada penyelesaian HAM di Tanah Papua. Walaupun pemerintah Indonesia mengakui menghormati dan menjamin HAK hidup warganya.

Namun, nyatanya di Papua, negara hadir sebagai pelaku utama kekerasan dan kejahatan atas kemanusiaan.

Sehingga tulisan ini hadir sebagai bentuk refleksi atas Pembunuhan Ketua Presidium Dewan Papua, Dortheys Hiyo Eluay yang merupakan wujud nyata wajah pemerintah Indonesia di Tanah Papua. Atas ketidakpedulian akan hak hidup warganya.

Sebab kasus pembunuhan dan penghilangan secara paksa Ketua Presidium Dewan Papua beserta sopirnya pada 10 November tahun 2001 oleh Kopasus merupakan bagian dari rententang kasus kejahatan kemanusiaan yang belum perna diselesaikan.

Karena praktik-praktik seperti ini, tidak hanya menjadi hal yang lumrah di Tanah Papua. Tetapi, juga sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan ataupun posisi strategis dalam jabatan struktural kepemerintahan.

Hingga pemberian berbagai gelar maupun pangkat kepada pelaku kejahatan di Tanah Papua. Yang hingga kini, belum perna diselesaikan walaupun pelaku telah diketahui.

Sehingga dalam pandangan penduduk orang asli Papua, pemerintah Indonesia tidak perna memiliki niat baik untuk menyelesaikan berbagai kejahatan kemanusiaan di Tanah Papua.

1. Pembunuhan Dortheys Hiyo Eluay Kematian HAM.


Pembunuhan Dortheys merupakan puncak dari Kematian HAM di Tanah Papua. Karena negara hadir dan menunjukan wajahnya sebagai pelaku utama kejahatan di Tanah Papua secara terang-terangan.

Dimana Theys diundang untuk menghadiri perayaan hari Pahlawan di markas Kopassus di Hamadi dibawah pimpinan kolonel Hartomo.

Kemudian dibunuh secara tidak manusiawi dimana, lehernya menyimpang tanda memar lilitan nelon hingga lidahnya menjulur keluar dan mayatnya dibuang di dalam mobilnya di kilometer 9 Koya, Muara Tami, Kota Jayapura Provinsi Papua.

Sedangkan Sopirnya Aristoteles hingga kini belum perna ditemukan. Yang memberikan indikasi wajah dan niat buruk kehadiran Pemerintah Indonesia bagi penduduk orang asli Papua.

Sebab, rentetan kejahatan kemanusian tidak perna berakhir pasca peristiwa pembunuhan 10 November 2001. Tetapi, menjadi puncak berbagai kejahatan terhadap kemanusiaan di Tanah Papua.

2. Impunitas Terhadap Pelaku Kejahatan HAM di Tanah Papua.


Pelaku kejahatan di Tanah Papua selalu terlindung dan korban kejahatan selalu bertambah tanpa ada penyelesaian secara adil.

Hal ini, bukan lumrah untuk Tanah Papua. Sebab pelaku kejahatan selalu berlindung dengan dalil menjaga keutuhan negara, menjaga stabilitas, keamanan ataupun melaksanakan perintah negara.

Dengan memberikan label maupun stereotipe negatif kepada penduduk orang asli Papua, guna membenarkan kejahatan kemanusiaan maupun kemalaran, penderitaan yang dilakukan bagi penduduk orang asli Papua.

Karena kekerasan dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Tanah Papua yang terus bertumbuh tanpa ada arah penyelesaian yang jelas merupakan wujud nyata praktik militerisme dan kekebalan hukum (impunity).
Sebagaimana “peristiwa Biak berdarah, 6 Juli 1998; Sorong, 16 Juli 1999; Timika 2 Desember 1999; Merauke, 16 Februari 2000; Nabire, 28 Februari hingga Maret 2000; Sorong 27 Juli 2000, Wamena, 6 Oktober 2000,” (Pogau;2014).
Merupakan sebagian rentetan kejahatan dan kekerasan yang belum perna diselesaikan secara adil.

3. Kesimpulan.

HAM di Tanah Papua sebatas kiasannya, panjangan yang hanya penuh dengan noda-noda ketidakadilan selama kehadiran pemerintah Indonesia di Tanah Papua.

Dimana rententang kasus kejahatan kemanusian tidak perna diselesaikan secara adil.
"Biak Berdarah 6 Juli tahun 1998, Wamena Berdarah 6 Oktober tahun 2000, tragedi Wasior 13 Juni tahun 2001, Uncen Berdarah 16 Maret 2006, Paniai berdarah 1 Desember 2014." (Chandra, Niklas, Haikai, & Octavia, 2022).
Dan berbagai kasus lainnya merupakan beban-beban pelanggaran HAM a'la Negara yang belum perna diselesaikan. Karena itu, diharapkan adanya upaya nyata dari pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan berbagai noda-noda kemanusian yang telah diciptakan oleh aparatur negara.

Sebagai tanggung jawab dan kewajiban negara untuk memastikan seluruh rakyatnya ber HAK mendapatkan jaminan hukum yang sama.


Walani, 10 November 2025



Ditulis oleh:

*J.W.Ronaldo*
Penulis merupakan lulusan Antropologi FISIP UNCEN, yang aktif menulis dan menyuarakan isu-isu kemanusiaan, Sosial-Politik di Tanah Papua. untuk melihat tulisan-tulisan penulis yang lain dapat mengunjungi blogger penulis; http://sabacarita.blogspot.com/


Daftar Pustaka:

  1. Chandra, F. K., Niklas, h., Haikai, M., & Octavia, S. (2022, Desember 14). Analisis Konflik HAM Yang Terjadi di Papua. Journal Pendidikan, Seni, Sains dan Sosial Humaniora, I(I), 67-68. doi:10.11111/nusantara.xxxxxxx
  2. Pogau, O. (Editor). (2014, 10 November). Melawan Lupa: Penculikan dan Pembunuhan Theys H. Eluay Oleh Kopassus Bermotif Politik. Suara Papua. Diakses pada; 10 November 2025, dari https://suarapapua.com/2014/11/10/melawan-lupa-penculikan-dan-pembunuhan-theys-h-eluay-oleh-kopassus-bermotif-politik-bagian-i/