Rasisme di Tanah Papua antara Hidup dan Mati.

oleh:

Ronaldo Jigibalom


Antara Hidup dan Mati.

Ketika tanah leluhurmu nan kaya dan permai. Kini menjadi tabungan Indonesia atas eksploitasi Amerika Serikat akan tambang emas, tembaga di Timika. Eksplorasi Minyak Gas oleh Inggris di Bintuni, Sorong. Kau hanya tersipu didera arus kekejaman dan kebiadaban Indonesia. Seakan ke Papuanmu adalah kutukan yang patut kau terima, atas dosa asal (dosa leluhur).

Sehingga hitam kulitmu hanya mewarisi penderitaan bagi anak cucumu diatas tanah pusakanya, Tanah Papua Barat. Dari Sorong sampai Samarai, dari Kepulauan Adi sampai Byak. Kau hitam (melano) yang keriting yang menjerit dalam lautan derita. Derita akan kemanusiaan. Atas klaim Pepera telah usai final tak dapat diganggu gugat.

Papua adalah milik Indonesia. Sehingga teriakan Merdeka bagi Papua atas Indonesia adalah tabu. Karena bara yang membunuh Papua adalah kata Merdeka. Karena kemerdekaan adalah bukan hak segala bangsa yang merupakan kontradiksi dari pembukaan UUD 1945 alinea pertama.

"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa." Yang diproklamirkan oleh Proklamator Ir. Soekarno.

Namun kini, "Dari kacamata yang netral klaim Indonesia atas wilayah Papua Barat patut dipertanyakan kembali." (Aditjondro,2000;8). Karena 1 Mei 1963 penyerahan pemerintahan sementara atas Papua oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) kepada pemerintah Indonesia tanpa melibatkan orang asli Papua.

Penandatanganan kontrak karya PT. Freeport Indonesia pertama 1967 hingga pelaksanaan Pepera 14 Juli sampai 2 Agustus 1969 yang dipandang dan dinilai penuh dengan kebiadaban, kekejaman ABRI kini TNI-Polri.

Yang merupakan keputusan sepihak antara Amerika, Belanda dan Indonesia. Yang berwatak fasis, rasis terhadap penduduk orang asli Papua. Karena orang Papua dipandang: telanjang, tertinggal, terbelakang. yang merupakan watak barbar dari suku bangsa yang rasis. Sebagaimana dinyatakan oleh Jhon Rumbiak "jantung persoalan Papua Barat adalah Rasialisme. (Karma,2014;XII). Indonesia adalah tameng atas Imperialisme Amerika melalui kehadiran PT. Freeport Indonesia milik Mc.Morran di Timika dan British Petroleum (Inggris) di Bintuni, Sorong.

Hingga jeritan derita akan; penyiksaan, pembunuhan, pemerkosaan, penjarahan terhadap kaummu diatas tanah leluhurnya. Dipandang sebagai keharusan dan lumrah atas kebiadaban dan kekejaman hingga pelaku kebiadaban pun diayomi oleh impunitas hukum.


Dimanakah kemanusiaanmu?

Sehingga pemerintahmu yang demokrasi kini nampak bagaikan pemerintah demon krasi yang memerintah di Papua Barat dengan penuh kekejaman, kebiadaban akan pembunuhan, penjarahan, pemerkosaan, penyiksaan.

Demi nasionalisme Indonesia harga mati yang melumpuhkan dan membutakan mata, hati dan sikapmu, sebagai manusia Indonesia yang berbudi luhur. Sehingga warisan keluhuran akan leluhurmu. Kini kau gadaikan atas perjanjian sepihak antara Amerika, Belanda dan Indonesia tanpa melibatkan penduduk orang asli Papua.

Pemilik sah dan ahli waris tanah Papua Barat yang sedang kau eksploitasi diatas penderitaan yang kau berikan atas mereka. Kemanusiaan adalah warisan keluhuran akan hati, pikiran, jiwa dan tindakan. Bukan pencapaian akan teknologi hingga berbagai pranata sosial. Hingga cawat dan koteka, sagu dan petatas sebagai simbol keterbelakangan bagi Papua dalam pandanganmu sebagai warga negara Indonesia.

Sehingga Papua harus dimusnahkan jika tak dapat di Indonesiakan, di Jawakan atau di Sumatrakan, di Sulawesi kan. Namun, tanpa kita sadari Indonesia adalah wajah ganda akan kemajuan, ketelanjangan dan kebiadaban atas rakyat jelatanya, yang melarat diatas tanah leluhurnya di Jawa, Sumatra, Sulawesi hingga Kalimantan.

Karena Indonesia adalah milik mereka, yang tampuk dalam kekuasaan. Menumpuk harta dibalik kedudukan. Indonesia bukan milik rakyatnya. Sehingga wajah ketelanjangan Indonesia melalui lembaga prostitusi yang dihalalkan pulau Jawa, Bali dan pulau lainnya dianggap sebagai keluhuran atas perizinan negara melalui UU Perizinan.

Mana yang lebih telanjang dan memalukan; Apakah cawat dan kotekanya orang Papua?

Ataukah, negara yang menelantarkan rakyatnya menjual tubuhnya yang dihalalkan atas perizinan lembaga prostitusi?

Apakah prostitusi dihalalkan oleh keluhuran akan keyakinan kita sebagai Indonesia. Sehingga prostitusi suatu kehalalan karena memberikan uang bagi negara sedangkan cawat dan koteka suatu ketabuan karena tak memberikan uang bagi negara. Hingga kekejaman dan kebiadaban kita pun tumbuh atas kebahagiaan kita melihat dan memperlakukan ras yang berbeda dengan kita serendah-rendah binatang melata.

Hingga pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, penjarahan adalah kesenangan akan kita. bahkan penemuan teknologi pemusnahan masal yang masif dengan pengembangan proyek senjata nuklir yang intens pun di gaungi oleh Amerika, Rusia, Jerman, China dan Jepang.

Pun dipandang sebagai kemajuan peradaban (Great Civilization) yang patut dibanggakan dan diteladani. Sehingga solidaritas kita akan kemanusiaan pun tabu, bagi kita. Atas dasar perbedaan warna kulit, suku bangsa, keyakinan hingga budaya.

Tanpa kita sadar dan belajar dari sejarah; "Perang adalah kekejaman dan kebiadaban." Yang patut dilupakan dan ditinggalkan demi martabat kemanusiaan (Human Dignity). Karena kemanusiaan kita bertumbuh atas kedamaian, keadilan, keharmonisan dalam keberagaman sebagai pemberian akan hidup.

Sehingga klaim sepihak akan superioritas ras antara ras lainnya patut diharamkan. Karena kekejaman, kebiadaban, di atas perbudakan akan; perbedaan warna kulit, agama, hingga ideologi adalah ciptaan manusia, bukan pemberian Ilahi.

Sehingga keadilan bagi semua suku bangsa. Baik yang berwarna maupun yang tak berwarna. Sebagai Human Being. patut ditebarkan. Sehingga praktek kebiadaban akan; peristiwa Hiroshima dan Nagasaki 1945, peristiwa 9/11 tahun 2001 tak terulang lagi.

Karena kemanusian yang adil dan beradab, yang patut dijaga demi kedamaian dan keluhuran akan hidup. Sehingga perjuangan akan Jalan Kedamaian. Dialog patut dikedepankan dan disolidaritasi demi Kemanusiaan tanpa memandang perbedaan agama, suku bangsa, budaya dan wilayah geografis hingga nasionalisme dan Ideologi.

Demi eksistensi akan kemanusian kita yang berbudi dan berhati luhur. Sehingga tragedi akan Kemanusiaan tak terulang kembali. Demi bumi kita nan hijau, permai, asri dan damai. Sebagai tempat keberagaman dipelihara, perbedaan akan keharmonisan yang patut disyukuri. Sebab antara mati atau hidup; perdamaian harus digaungkan demi kedamaian bagi semua bangsa.


📍Hubula, 20 September 2024


Referensi.

  • Aditjondro, G.J, 2000, CAHAYA BINTANG KEJORA: Papua Barat Dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi, dan Hak Asasi Manusia.ELSAM:Jakarta.
  • Karma. F, 2014. Seakan Kitorang Setengah Binatang Rasialisme Indonesia di Papua Barat. Deiyai: Jayapura.