KEJAHATAN STRUKTURAL-SISTEMIK PEMERINTAH INDONESIA DI TANAH PAPUA BARAT: Dari Transmigrasi Spontan Hingga Program Transmigrasi.



“Kejahatan struktural-sistemik adalah kejahatan yang disiasati, dirancang dengan sadar untuk mengeliminasi, menyingkirkan suatu kelompok yang dijalankan oleh pemegang kekuasaan dengan tujuan untuk menguasai, menjajah bahkan untuk memusnahkan suatu suku bangsa.”
Dalam penulisan ini, kata “Tanah Papua/Papua” berunjuk pada wilayah administrasi jajahan pemerintah Belanda “Nederlands Nieuw-Guinea” yang meliputi: Sorong hingga Samarai, kepulauan Adi hingga Byak yang disebut tanah Papua. Sehingga kata Papua tidak dipahami sebagai suatu provinsi induk yang dimekarkan Pemerintah Indonesia.

Papua adalah bara dari luka, darah dan duka yang berlangsung sejak 1 Mei 1963 hingga kini. Berbagai bentuk kejahatan yang berlangsung di tanah Papua adalah murni kejahatan systemic-struktural yang disiasati dan diaktori oleh negara.

Sebagaimana program transmigrasi nasional yang dicanangkan oleh Prabowo Subianto presiden terpilih Republik Indonesia periode (2024-2029), yang mencanangkan “Papua menjadi tujuan utama transmigrasi”.

Namun, nyatanya tanah Papua adalah wilayah “transmigrasi spontan” yang tak terbendung hingga kini, yang belum didatai secara jelas dengan baik dan diberitahukan kepada public, seberapa banyak transmigrasi spontan yang berdatangan untuk menetap di tanah Papua tiap tahun.

Dengan berbagai motif, yakni untuk; berdagang, mencari kerja, mutasi PNS hingga perusahan swasta di tanah Papua. Transmigrasi spontan walaupun dibiayai sendiri namun, para transmigran spontan tidak masuk begitu saja tanpa pemeriksaan administrasi yang ketat guna pembatasan, pengontrolan transmigrasi spontan secara administratif guna perlindungan terhadap penduduk orang asli Papua.

Sebagaimana diatur dalam UU RI No. 21 tentang Otonomi Khusus tahun 2001 bagi Provinsi Papua, Bab XVIII pasal 61, ayat (3) dan (4) yang mengatur tentang Transmigrasi setelah mendapatkan persetujuan dari gubernur dan sesuai dengan peraturan daerah Provinsi (Perdasi). (Pona, 2009) serta UU RI No 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Namun, hingga kini belum ada UU perdasi yang disahkan guna mengatur tentang transmigrasi nasional walaupun ada “(draf) UU Perdasi tentang kependudukan (transmigrasi) tahun 2009 yang perna dibahas di Lembaga DPR Papua.” Namun hingga kini belum jelas penetapan dan pengesahannya.”(Pona, 2009; hlm:350-352)

Tanpa UU Perdasi yang mengatur dengan jelas tentang Transmigrasi Nasional guna proteksi penduduk orang asli Papua maka penduduk orang asli Papua sedang digiring dalam siasat kejahatan yang dilakukan oleh negara (state violance) secara sadar, terencana dan terstruktur terhadap penduduk orang asli Papua menujuh pemusnahan budaya dan pemusnahan etnis secara perlahan (slow motion ethnocide and genocide).


Sebab program transmigrasi nasional yang dimulai sejak “era pra-repelita sampai hingga repelita ke VII yang mentransmigrasikan 78.650 kepala keluarga (KK), 308,447 Jiwa dalam 270 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) yang tersebar di seluruh tanah Papua. (Dinas Kependudukan & Pemukiman Provinsi Papua 2008) program ini berakhir di Papua pada penempatan transmigran periode 1999-2000, sebanyak 665 KK atau 2884 Jiwa, yang ditempatkan di Manokwari (teluk Bintuni) di Bobo sebanyak 200 KK= 910 Jiwa, Keerom (Arso 14) 100 KK=421 Jiwa, Merauke (Muting 10) 100 KK=499 Jiwa, Mimika di lokasi Timika 13 (Bintuka) 250 KK=1054 Jiwa.” (Pona, 2009: hlm:350).
Karena lembaga/institusi imigrasi dan kependudukan adalah lembaga negara (state institution) maka praktek pembiaran transmigrasi spontan adalah kejahatan structural-sistemik yang diaktori oleh negara terhadap penduduk orang asli Papua. Serta program transmgrasi nasional adalah murni praktek kolonialisme baru (new colonialism) demi pemusnahan penduduk orang asli Papua secara pelan, perlahan namun pasti.

Melalui manipulasi komposisi penduduk orang asli Papua dengan penduduk Transmigran secara sadar dan terencana. Guna menekan gejolak social demi mempertahan NKRI harga mati di Papua (disintegrasi) bangsa.

Karena negara secara sadar membiayai program transmigrasi nasional atas nama pemerataan penduduk yang didukung oleh TNI-Polri. Namun, dalil pemerataan penduduk, pembangunan hingga kesejahteraan adalah dalil yang digunakan untuk menghalalkan berbagai kejahatan sistemik-strukrual yang sedang disiasati dan dijalankan oleh negara sebagai pelaku kejahatan.

Sebab penduduk orang asli Papua juga sedang dihantui oleh kejahatan struktural-sistemik lainnya sebagaimana dilaporkan oleh Human Right Monitoring bahwa; "79,867 orang pengungsi internal (internal displacement) yang dilaporkan pada September 2024.
Hingga 50 ribu jiwa penduduk yang menghuni 40 kampung, 13 Distrik oleh masyarakat adat (Malind, Maklew, Khimaima, Yei) yang mendiami lembah savana Merauke terancam ekspansi proyek strategis nasional (PSN) yang merencanakan 2.000,000 lebih hektar tanah masyarakat adat yang sebagian masuk lahan hunian masyarakat adat akan dialih fungsikan guna mewejudkan "Papua sebagai lumbung pangan nasional". Yang diperkirakan 4x lebih luas pulau Bali bahkan 30x lebih luas Jakarta yang merupakan proyek; Ekosida, Etnosida, hingga Genosida bagi penduduk orang asli Papua.


Yang patut mendapatkan perhatian dan dukungan dari berbagai Lembaga Internasional bahkan negara-negara merdeka yang mencintai Perdamaian. Serta berbagai lembaga swasta (NGO) bahkan berbagai profesi; Akademisi, Pengacara, Intelektual hingga Politisi dan Masyarakat pada umumnya untuk menolak kolonialisme modern a'la pemerintah Indonesia yang dinakodahi oleh Prabowo Siboanto sebagai Presiden terpilih Indonesia.


Sebab berbagai kejahatan struktural-sistemik yang sedang disiasati dan dijalankan di tanah Papua yang diaktori oleh negara dihalalkan dan dijalankan atas nama; Pemerataan Pembangunan, Kesejahteraan hingga berbagai label yang dapat menghalalkan praktek-praktek biadab, barbar, keji dan kejam yang tak "berperi kemanusiaan dan peri keadilan” yang patut dilawan, patut ditolak sebagai manusia yang mencintai kedamaian, keberagaman sebagai manusia yang berbudi luhur dan beradab.


Semoga tulisan ini, memberikan pencerahan seraya membangkitkan semangat perjuangan, persatuan dan kesatuan manusia Papua pada khusus yang sedang dicerai-beraikan oleh praktek-praktek kolonialisme gaya baru (new colonialism) a'la Pemerintah Indonesia. Serta membangun kesatuan dan persatuan atas dasar; keadilan, perdamaian dan persatuan tanpa memandang suku, agama, profesi hingga wilayah geografis.

Dengan meneruskan tulisan ini, anda telah bersolidaritas mendukung keadilan serta HAK-HAK dasar masyarakat adat Papua yang mendiami Sorong sampai Samarai, dari pulau Adi sampai Byak guna menolak program transmigrasi nasional a'la Prabowo Subianto yang ambisius di tanah Papua.



Hubula, 1 November 2024



*Ditulis oleh:


Ronaldo Jigibalom


Penulis merupakan alumni Antropologi FISIP UNCEN yang kini aktif menulis di blog pribadi: https://sacarita31.blogspot.com/


Reference:

  • Pona, L. (2009). Transmigrasi Era Otonomi Khusus di Provinsi Papua. Humaniora, 350-351.
  • Admin Jubi, Editor, timoteus Marten: (2024,16/10) “Rampas Hak OAP, Jokowi Diminta Hentika PSN di Merauke.” https://jubi.id/rilis-pers/2024/rampas-hak-oap-jokowi-diminta-hentikan-psn-di- merauke/ diakses pada: Jumat, 1 November 2024
  • Jigibalom, R. (2024, Oktober 25). Konflik Perebutan Tanah Antara Negara dan Masyarakat Adat Papua di Papua Barat. https://sacarita31.blogspot.com/ diakses pada: Jumat, 1 November 2024