DAMPAK KEBIJAKAN TRANSMIGRASI DI TANAH PAPUA: Tinjauan Terhadap Perubahan Sosial dan Lingkungan di Tanah Papua.


Gambar: dibuat oleh Jronaldo


“Kebijakan transmigrasi nasional yang dicanangkan oleh presiden terpilih Indonesia, Jend, Prabowo Subianto menginginkan Papua menjadi tujuan utama transmigrasi.”
Kebijakan transmigrasi nasional ini merupakan kebijakan demi mencegah disintegrasi/perpecahan wilayah Indonesia. Sehingga kebijakan transmigrasi nasional yang dicanangkan oleh Prabowo Subianto merupakan kebijakan politik yang ampu demi pemusnahan etnis Papua dengan mengantikan komposisi penduduk orang asli Papua dengan penduduk transmigran Indonesia guna mendiami tanah Papua.

Karena kebijakan ini bersifat domestic. Sehingga sangat tidak mungkin untuk mendapatkan intervensi, tekanan dari negara-negara berdaulat lainnya yang terhimpun dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Sehingga diperlukan kesadaran dari masyarakat Papua dan solidaritas dari berbagai kalangan masyarakat Indonesia demi mempertahankan keberagaman sebagai kekayaan yang patut dijaga demi kelangsungan dan keberlanjutan HIDUP penduduk orang asli Papua serta segala kekayaan ilahi yang diwarisi oleh leluhur baginya di tanah Papua berdasarkan asas “bhineka tunggal ika” berbeda-beda tetapi tetap satu.

Karena kebijakan transmigrasi nasional, pemekaran wilayah yang tak terkontrol, hingga berbagai aktivitas perampokan dan perampasan tanah adat atas nama proyek strategis nasional (PSN) di Merauke, ekspansi perusahaan nasional dan internasional hingga penolakan kasasi suku Awyu yang menetap di kabupaten Boven Digol dan Kabupaten Mappi dengan luas lahan 36.094 hektar tanah hingga izin usaha perusahan sawit PT. Agro sawitindo yang diberikan izin sepihak seluas 18.160 hektar tanah milik suku Moi di Sorong.

Tanpa difasilitasi melalui prinsip Free Prior Informan consent (FPIC) atau Persetujuan Awal Tanpa Ada Paksaan (PADIATAPA) oleh pemerintah, pemilik ulayat dengan perusahaan yang diberikan hak konsesi hutan adat milik suku Awyu seluas 36.094 haktar serta 18.160 hektar tanah adat suku Moy di Sorong hingga proyek PSN di Merauke yang mengambil 2.000.000 juta lebih hektar tanah masyarakat adat.

Semua perampokan dan perampasan sepihak yang dijalankan oleh negara (state) atas nama pembangunan (development) dan pemerataan telah mengeliminasi penduduk orang asli Papua diatas tanah leluhurnya.

Sehingga dalam penulisan ini, penulis meminjam istilah (slow motion genocide) yang digunakan oleh (Elmslie & Webb-Gannon, 2014) sebagai depopulasi penduduk orang asli Papua secara terstruktur-sistemik yang diaktori oleh negara (state) melalui berbagai produk kebijakan yang dijalankan oleh berbagai instansi atas nama pembangunan (development).

Sebab penduduk orang asli Papua yang terbagi dari 2 provinsi induk Papua dan Papua Barat dengan jumlah yang tidak lebih dari 3 juta jiwa, selama kehadiran pemerintah Indonesia di tanah Papua pembangunan infrastruktur di bidang pendidikan, ekonomi dan kesehatan yang marak pun belum memberikan impak yang baik bagi penduduk orang asli Papua, sebab angka buta huruf masih tinggi, rendah pendapatan per keluarga, hingga tingginya angka gizi buruk (stunting).

Bagi penduduk orang asli Papua kehadiran pemerintah Indonesia seakan menjadi hantu yang mengintai penduduk orang asli Papua menujuh pemusnahan secara perlahan, pelan tapi pasti (slow motion genocide). Sebab rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM) Provinsi Papua dan Papua Barat dibandingkan nilai rata-rata IPM nasional sejak tahun 2010-2018.


Tabel I: Indeks Pembangunan Manusia di Papua dan Papua Barat.
Sumber: BPS Papua Dalam Angka (2011-2018), Papua Barat Dalam Angka (2010-2018) dalam(Pamungkas Oktafiani, & Imbhiri, 2022), diolah oleh: (Jronaldo)


Sebab untuk menilai keberhasilan serta kebermanfaatan pembanguna (development), indeks pembanguna manusia (IPM) menjadi indikator yang umum digunakan. Berdasarkan indeks pembangunan manusia (IPM) Papua dan Papua Barat pada tabel diatas. Pemekaran wilayah yang marak, hingga ekspansi perusahaan nasional dan internasional yang marak di tanah Papua adalah kesalahan fatal bagi penduduo orang asli Papua.

Karena mereka akan tersisi, terpinggirkan untuk mengisi posisi-posisi penting dan strategis karena dipadang belum bisa sehingga mereka akan menjadi penonton diatas tanah leluhurnya, tanah Papua.

Sehingga pemekaran wilayah hingga kebijakan transmigrasi nasional dipadang sebagai bagian integral dari (slow motion genocide) bagi penduduk orang asli Papua mengatas namakan pemerataan pembangunan (development) yang merupakan akronim dari depopulasi, marginalisasi, dan eliminasi terstruktur yang dipandu oleh negara (state) sebagai aktor utama dari berbagai kejahatan (main actor of victim). Sebab kata (development) pembangunan memiliki arti ganda yakni; dari apa dan untuk apa.

Sehingga tulisan ini hanya membahas kebijakan transmigrasi nasional, apakah sebagai upaya pemberdayaan terhadap penduduk orang asli Papua ataukah sebagai siasat pemerintah mengatas namakan pembangunan (development) guna melakukan depopulasi terkontrol sebagai (slow motion genocide) guna menekan aktivitas separatis di tanah Papua seraya pengalihan tanah adat penduduk orang asli Papua bagi para transmigran Indonesia serta bagi ekspansi perusahaan nasional dan asing yang di sisi lainya juga mengancam keberlanjutan keragaman hayati di tanah Papua.

Sebab transmigrasi nasional yang dicanangkan dengan bonus 2 hektar lahan tanah per kepala keluarga (KK) yang bersertifikat oleh badan pertanahan nasional (BPN) secara langsung telah memberikan indikasi akan bahaya bagi kelangsungan dan keberlanjutan hidup penduduk orang asli Papua serta segala hak-hak yang melekat padanya meliputi; sosial-budaya, lingkungan hingga berbagai keragaman hayati yang menopang keberadaan manusia Papua yang mendiami tanah Papua sebagai bagian tak terpisahkan dari alam (nature).

Selain dari kebijakan transmigrasi nasional yang dicanangkan, pemekaran wilayah yang marak tanpa adanya persetujuan DPRD, DPRP hingga Majelis Rakyat Papua serta tanpa pengontrol dan kajian ilmiah yang didukung oleh UU Pemekaran, merupakan kejahatan sistemik-struktural negara dalam menggunakan instrumen negara sebagai pembenaran kebijakan secara hukum guna melenyapkan penduduk orang asli Papua yang mendiami tanah Papua atas nama pembangunan (development) secara perlahan, pelan namun pasti (slow motion genocide) demi merampas berbagai kekayaan sumber daya alam yang ada di tanah Papua.

Sebagaimana Wiko Saputra, ahli ekonomi menyebutkan bahwa; “30 dari 42 Kabupaten Kota di tanah Papua mengalami kerawanan pangan. Yang terjadi di kawasan yang ada sawit.” (Brabar, 2024). Dengan kata lain bahwa; ekspansi industri secara massal di tanah Papua juga telah mengancam kebutuhan gizi akan penduduk orang asli Papua. Sehingga tingginya angka gizi buruk pun tersebar secara luas bagi penduduk orang asli Papua yang tersebar di daerah selatan Merauke, Boven Digul serta Nabire dan beberapa daerah di tanah Papua. Yang memberikan indikasi bahwa ekspansi industri atas nama pembangunan juga mengancam keberlangsungan HIDUP penduduk orang asli Papua serta keragaman hayati.

Hingga program PSN di Merauke yang menjadi bagian integral dari program pemusnahan etnis serta berbagai keanekaragaman hayati yang tersebar di Merauke dengan mono pangan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat yang mengambil alih tanah masyarakat adat.

Sebesar 2.000.000 ribu lebih hektar tanah masyarakat adat (Malind, Maklew, Khimaima, dan Yei) atas klaim negara sebagai program kemanusiaan demi ketahanan pangan namun; nyatanya program PSN akan menggusur hunian masyarakat adat (Malind, Maklew, Khimaima, dan Yei) yang tersebar di 13 Distrik, 40 kampung yang dihuni oleh 50 ribu penduduk akan terkena dampak langsung dari program PSN. (Jubi,2024) dalam (Jigibalom, 2024)

Yang memberikan indikasi kepada kita bahwa; hak atas tanah sebagai bagian yang melekat pada masyarakat adat Papua kini telah di lengser karena belum jelas pelaksanaan dan penggakuan tentang “UU 1945 pasal 18B yang mengatur tentang Pengakuan dan Penghormatan negara terhadap kesatuan Masyarakat Hukum Adat dan hak-hak tradisionalnya.”

Sehingga gugatan “Hendrikus Woro dengan nomor 458 K/TUN/LN/2024 atas PT. Indo Asiana Lestari (IAL) dengan konsesi 36.094 hektar tanah, milik suku Awyu di Sorong yang lebih dari setengah luas DKI Jakarta hingga izin usaha PT. Agro Sawitindo dengan konsesi 18.160 hektar yang berlokasi di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya milik suku Moi” pun terancam beralih kepemilikan. (Kaliele, 2024). tanpa melakukan mediasi netral antara Masyarakat Adat pemilik ulayat, negara dan perusahaan.

Sehingga maraknya penggunaan kata oemerataan pembangunan (development) di tanah Papua, apakah benar-benar ditujukan bagi penduduk orang asli Papua ataukah orang asli papua dipandang sebagai objek belaka dari kata pembangunan dan pemerataan guna pemberdayaan penduduk miskin Indonesia yang ditransmigrasikan, dibiayai dan difasilitasi oleh negara.

Guna kelangsungan dan keberlanjutan hidup transmigran yang merupakan penduduk miskin Indonesia yang mendiami pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, yang diselundupkan melalui program transmigrasi nasional.


Semoga tulisan ini memberikan pencerahan.


Yaloaput, 13 Nobvember 2024


***Dengan meneruskan tulisan ini, anda telah berpartisipasi dalam membangun solidaritas untuk masyarakat adat Papua yang didukung atas kajian ilmiah guna membangun literasi masyarakat Indonesia yang jujur, bersih dan adil atas asas “bhineka tunggal ika” berbeda-beda tetapi tetap satu.***


**Ditulis oleh:



Ronaldo Jigibalom

Penulis merupakan alumni Antropologi FISIP UNCEN yang kini aktif menulis dan sedang mendalami kajian tentang Masyarakat Adat di Tanah Papua:


*Reference:

Brabar, R. (2024). Tanah Papua dalam Bayang-Bayang Creeping Genocide. Retrieved November 11, 2024, from https://suarapapua.com/2024/11/03/tanah-papua-dalam-bayang-bayang- creeping-genocide/

Elmslie, J., & Webb-Gannon, C. (2014). A Slow-Motion Genocide: Indonesia rule in West Papua.Griffith Journal of Law & Human Dignity, I.

Jigibalom, R. (2024, Oktober 25). Proyek Nusantara Baru Di Tanah Papua; Kolonialisme Gaya Baru Pemerintah Indonesia. Retrieved November 12, 2024, from;https://sacarita31.blogspot.com/2024/10/proyek-nusantara-baru-di-tanah-papua.html

Kaliele, G. (2024, November 2). Pemuda Adat Papua di Sorong kecewa putusan MA tolak kasasi masyarakat adat Awyu. (Z. Ariana, Ed.) Retrieved November 13, 2024, from https://jubi.id/domberai/2024/pemuda-adat-papua-di-sorong-kecewa-putusan-ma-tolak-kasasi-masyarakat-adat-awyu/

Pamungkas, C., Oktafiani, I., & Imbhiri, L. (2022). Makna Pembangunan Bagi Orang Asli Papua: Studi Kasus Terhadap Marginalisasi dan Depopulasi di Tanah Papua. 17-20. Retrieved November 12, 2024, diakses dari:

https://www.researchgate.net/publication/362237153_Makna_Pembangunan_Bagi_Orang_Asli_Papua_Studi_Terhadap_Marginalisasi_dan_Depopulasi_di_Tanah_Papua