| Ilustrasi Gambar: J.Ronaldo | 
Konflik dan kekerasan bukan sekedar statistik yang harus dibanggakan. Namun tentang jiwa, karsa dan rasa yang harus dijunjung dan disolidir sebagai manusia karena kita semua mendambakan KEDAMAIAN.
Ketika kejahatan bersenjata menebar teror, ancamanan fisik maupun psikis hingga pembunuhan, penjarahan yang menyebabkan pengungsian masyarakat adat di Tanah Papua.
Media berperan aktif dalam membentuk perspektif kita untuk melihat, memahami serta menentukan  pilihan kita atas persoalan kemanusian yang diwacanakan media,
Untuk menghakimi bahkan menolak ataupun bersolidaritas atas berbagai persoalan kemanusiaan di Tanah Papua.
Karena media tidak hanya berperan sebagai penghubung serta pembawa dan penyebar berbagai informasi yang objektif, adil dan benar tetapi, media dapat digunakan untuk mengelabui, mempengaruhi cara pandang kita, bahkan menghilangkan berbagai persoalan kemanusiaan di Tanah Papua dengan kekuatan wacana.
Sebagaimana yang diwacanakan oleh laporan Fajar Papua.Com melalui
Tentang keberhasilan operasi TNI di Kampung Soanggama, Distrik Homeyo, Kabupaten Intan Jaya pada 15 Oktober 2025 yang berhasil membunuh 14 anggota OPM, yang bertentangan dengan pers rilis TPN-PB yang mengatakan TNI telah berhasil membunuh 12 warga sipil dan 3 orang anggota TPN-PB.
Walaupun tidak semua media nasional maupun lokal menjadi sarana pengkondisian dan propaganda a la militer Indonesia di Tanah Papua.
Namun berbagai laporan operasi militerisme di Tanah Papua tentang operasi, pembunuhan sering dijadikan sebagai keberhasilan yang patut dibanggakan serta menjadi alat kenaikan pangkat ataupun promosi jabatan struktural dalam hirarki institusi kemiliteran.
Padahal persoalan kemanusiaan di Tanah Papua bukan soal keberhasilan ataupun kegagalan operasi militer tetapi, paling penting tentang objektivitas laporan tentang keadilan, kesetaraan sebagai media independen yang terpercaya.
Sehingga berbagai laporan media nasional ataupun lokal yang mensubordinasikan masyarakat adat di Tanah Papua harus dilihat sebagai upaya meredam berbagai kejahatan militeristik terhadap kemanusiaan.
Demi menunjukan sisi heroisme dan keberhasilan militerisme di Tanah Papua berbagai operasi militeristik yang keji dan barbar sering dikonotasikan dengan pendekatan humanisme a la militerisme di Tanah Papua.
Padahal pembunuhan yang digemborkan sebagai keberhasilan atau apapun labelnya, siapa yang bertanggung jawab terhadap penghilangan nyawa manusia secara paksa? siapa yang bertanggung jawab terhadap janda,duda ataupun yatim dan piatu yang ditelantarkan atas penghilangan nyawa manusia?
Sebab pada dasarnya pendekatan militerisme selalu melahirkan kemalaran, ketidakamanan dan penderitaan yang tidak pantas dan layak dikedepankan untuk menyelesaikan berbagai persoalan kemanusiaan di Tanah Papua.
Karena jejak-jejak kebiadaban militerisme di Tanah Papua dari kepresidenan pertama Indonesia hingga kini telah merusak harkat, martabat kemanusiaan serta wajah kehadiran Indonesia bagi masyarakat adat di Tanah Papua.
Yang tidak layak dibanggakan melalui wacana-wacana heroisme a la media nasional maupun lokal yang menjadi alat penguasa. Sebab jejak-jejak militerisme telah melahirkan luka akan ingatan penderitaan kolektif bagi masyarakat adat di Tanah Papua yang bersifat permanen dan menjadi sumber inspirasi gerakan disintegrasi bangsa.
Sehingga segala capaian dari berbagai operasi militeristik a la Indonesia di Tanah Papua tidak layak untuk dibanggakan dan dirayakan karena bersifat sementara.
Sebab pendekatan militeristik telah menjadi biang kerok tindakan semena-mena untuk membunuh, menjarah dan mengusir jiwa-jiwa tak berdosa atas tanah serta menelantarkan mereka dari berbagai akses pendidikan, kesehatan dan pelayanan umum lainnya.
Klaim kepahlawanan ataupun keberhasilan yang diwacanakan di berbagai media nasional ataupun lokal di Tanah Papua  patut lihat sebagai upaya pengelabuan dari kebobrokan, kebengisan dan kejahatan militeristik.
Sebab persoalan utama di Tanah Papua bukan soal kesejahteraan, pembangunan di sektor (pendidikan, ekonomi, kesehatan ataupun infrastruktur).
Tetapi pendekatan keamanan dan militerisme yang intens di Tanah Papua yang telah menjadi sumber kemelaratan dan penderitaan bagi masyarakat adat di Tanah Papua. Yang disembunyikan melalui wacana-wacana subjektif ala media nasional ataupun lokal yang menjadi alat penguasa.
Dari warisan operasi militeristik dan pendekatan militerisme yang selalu diwariskan turun-temurun a la kepresiden di Indonesia.
Sebagaimana pemboman di Distrik Melagi, Kabupaten Lanny Jaya baru-baru ini, pada 5 Oktober 2025 yang mengorbankan Yohan Wenda serta masyarakat setempat yang mengungsi.
Serta operasi militeristik di Kampung Soanggama Kabupaten Intan Jaya yang mengorbankan 12 warga sipil dan 3 anggota TPN-PB pada 15 Oktober 2025.
Rentetan kasus demi kasus operasi militeristik di Tanah Papua bukan sebatas angka statistik, legasi keberhasilan operasi militeristik ataupun harga untuk kenaikan pangkat dan promosi jabatan.
Tetapi merupakan jejak kebiadaban, kebengisan dari operasi militeristik yang tidak manusiawi yang tidak layak dibanggakan melalui narasi-narasi semu ala media nasional ataupun lokal yang menjadi alat penguasa.
Walani 18 Oktober 2025
Ditulis oleh:
J.W.Ronaldo
Penulis merupakan lulusan Antropologi FISIP UNCEN, yang aktif menulis dan menyuarakan isu-isu kemanusiaan, masyarakat adat di Tanah Papua, untuk melihat tulisan-tulisan penulis yang lain dapat mengunjungi blogger penulis; http://sabacarita.blogspot.com/
 
 
