![]() |
Gambar 1.1: dibuat oleh Jronado |
Pemilihan Presiden di Indonesia secara langsung dimulai pada tahun 2004, sesuai dengan amandemen UU tahun 1945. Perubahan pemilihan presiden secara langsung telah menjadi perubahan signifikan dalam proses demokrasi di Indonesia.
Namun, dalam proses perjalanan demokrasi di Indonesia; masih menyimpang dari praktik-praktik pemerintahan yang demokratis. Sebab pemerintahan yang menganut sistem demokrasi belum tentu pemerintahan yang demokratis, tanpa consequent dan konsistensi pemerintah dalam mematuhi prinsip-prinsip demokrasi dan balance of power a la trias politika sebagai roh dari demokrasi.
Karena itu, tulisan ini hadir untuk menilik kembali proses demokratisasi Indonesia menjelang perayaan HUT RI yang ke 80 tahun pada 17 Agustus 2025. Menggunakan indikator yang digunakan oleh Economic Unit Inteligent dalam laporannya yang berjudul "Democracy Index 2023: Age Of Conflict," yang meliputi lima dimensi;
- Proses pemilu dan pluralisme
- Keberfungsian pemerintahan
- Partisipasi politik
- Budaya politik
- Kebebasan sipil, (Muamar A: 2024).
Sebab pemerintah yang demokratis bukan sebatas keterlibatan (partisipasi) rakyat dalam memilih dan memberikan HAK suara melalui pemilihan dalam menentukan presiden ataupun kepala daerahnya, tetapi juga keterlibatan aktif masyarakat dalam menuntut, mengawal dan mengontrol kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh legislatif dan dijalankan oleh Eksekutif dan Yudikatif.
Sehingga masih banyak indikator-indikator lain yang dapat dilihat sebagai tolak ukur (barometer) penilaian proses demokrasi di Indonesia. Tulisan ini; menggunakan lima Indikator yang sudah disebutkan diatas sebagai acuan dalam membedah proses demokrasi di Indonesia; sudah demokratis kah?
Hingga adanya perusakan rumah doa di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat yang mengakibatkan 2 anak mengalami luka-luka, pada hari Minggu, 27 Juli 2025 adalah wujudnya nyata tidak adanya harmoni antar umat beragama maupun kelompok etnik tertentu di Indonesia yang berunjuk pada perlakuan-perlakuan diskriminatif yang berpotensi menciptakan konflik sosial antar umat beragama ataupun antar kelompok etnik di Indonesia.
Praktik-praktik pemilu yang berulang-ulang baru-baru ini di berbagai provinsi, kota dan kabupaten di Indonesia terkhusus pemungutan suara ulang di Provinsi Papua pada 5 Agustus 2025, yang juga ditemukan berbagai kejanggalan-kejanggalan penggelapan kertas C hasil di beberapa TPS maupun kabupaten dan keterlibatan aktif pengarahan oleh PJ Gubernur Papua dalam mendukung para bakal calon, hingga keterlibatan aktif pihak keamanan dalam mengamankan salah satu calon merupakan bukti nyata tidak adanya kesadaran berpolitik kita.
Demokrasi meyakini adanya perimbangan kekuasaan (balance power) antara lembaga Eksekutif, Legislatà if dan Yudikatif. Peribangan kekuasaan itu diharapkan agar keberfungsian pemerintah berjalan adil agar tidak terjadi over power (kelebihan kekuasaan) diantara lembaga tertentu agar pemerintahan dapat mewujudkan good government (pemerintahan yang baik) yang menekankan praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme serta mengedepankan transparansi, akuntabilitas dan efisiensi pelayanan publik yang baik.
Namun, nyata praktik korupsi di Indonesia meningkat setiap tahun dimana, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada 791 kasus korupsi, 1.695 tersangka yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp. 28,4 Triliun. sepanjang tahun 2023 jumlah ini naik signifikan dari tahun sebelumnya yang hanya 579 kasus dengan 1.396 orang tersangka, (Yandwiputra, 2024).
Serta adanya impunitas hukum bagi pelaku kejahatan di tanah Papua dimana berbagai kasus-kasus pelanggaran HAM belum diselesaikan secara adil dan transparan; Kasus Biak berdarah (1998), Wasior berdarah (2001-2002), Wamena Berdarah (2003), Abepura berdarah (2006), Paniai berdarah (2014) dan berbagai kasus lainnya.
Partisipasi politik tidak hanya saat pelaksanaan Pemilu, Pilgub, Pilkada saja namun, keterlibatan aktif masyarakat dalam memutuskan dan menetapkan kebijakan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Sebab pengontrolan para aparatus maupun politisi tidak hanya melalui lembaga Legislatif dan Yudikatif tetapi juga keterlibatan aktif masyarakat melalui; pengawasan para kandidat yang ditetapkan, kampanye hingga proses pemilihan serta dalam menuntut putusan-putusan politik yang merugikan masyarakat, patut dituntut dan sampaikan oleh masyarakat dalam mengarahkan kebijakan yang berkeadilan bagi masyarakat.
Merupakan pilar penting yang mendorong demokratisnya pemerintahan atau tidak. Sebab kebebasan sipil untuk berserikat, menyampaikan pendapat, beragama maupun berbicara dan berpikir dijamin oleh pemerintah Indonesia melalui UU 1945 pasal 28 (E) yang mengatur tentang HAK Kebebasan Berpendapat, Berserikat dan Berkumpul.
Namun, selama kebebasan berserikat, berpendapat dan berbicara di muka umum masih direspon dengan tindakan represif aparat keamanan polisi-militer; dengan alasan mengganggu ketertiban umum maupun keamanan, demokrasi patut dipertanyakan.
Sebab konsekuensi logis dari sistem demokrasi adalah kebebasan yang dijamin oleh sistem demokrasi sendiri. karena tanpa ada kebebasan berbicara, berpendapat dan berserikat dan berpikir, demokrasi sebatas slogan yang dipanjangkan oleh sekelompok orang demi menutupi wajah otoritarianisme yang dilindungi oleh polisi-militer secara represif, dalam menjalankan pemerintahan.
Karena merosotnya proses demokrasi di Indonesia adalah wujud nyata dari adanya praktik-praktik pemerintahan yang otoriter yang berwatak militer. dimana berbagai tuntutan aspirasi yang disampaikan selalu direspon menggunakan kekuatan keamanan yang represif serta maraknya praktik korupsi di Indonesia yang menandakan; sistem demokrasi yang menganut trias politika tidak berjalan baik, yang menandakan proses demokrasi di Indonesia telah cacat "flawed democracy."